URtrending

URtopic: Karakter Pelanggar PSBB: Egois dan Tak Punya Empati

Tim Urbanasia, Senin, 25 Mei 2020 17.15 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
URtopic: Karakter Pelanggar PSBB: Egois dan Tak Punya Empati
Image: Ilustrasi kerumunan di tengah peraturan PSBB atau COVID-19. (Girindra Syahputra/Urbanasia)

Jakarta - "Nothing in the world is more dangerous than sincere ignorance and conscientious stupidity."

Banyak orang bilang kutipan kalimat Martin Luther King Jr itu tepat sekali untuk menggambarkan fenomena yang belakangan terjadi di Indonesia. Dua kata: ‘ignorance’ yang berarti ketidakpedulian serta ‘stupidity’ alias kebodohan, menjadi perlu digarisbawahi.

Sebab, setelah merebaknya kasus positif COVID-19, masih banyak masyarakat yang memilih untuk bersikap seolah tak peduli dan menganggap remeh pandemi ini. Kemudian, tagar #IndonesiaTerserah menyeruak di media sosial sebagai respons atas banyaknya masyarakat yang melanggar.

1590400946-belanja-tengah-pandemi.jpg

Pembeli berkerumun di Pasar Bintan Centre Tanjungpinang, Sabtu (23/5/2020). (Ilustrasi/ANTARA/Nikolas Panama)

Pemerintah yang awalnya menerapkan imbauan untuk berdiam diri di rumah, PSBB hingga larangan mudik demi memutus rantai penyebaran virus pun mulai melonggarkan aturan. Terbukti, masih banyak yang masih bebas berkeliaran tanpa mengindahkan anjuran jaga jarak (physical distancing).

Pasar dan mal ramai dipenuhi mereka yang ingin berbelanja jelang lebaran, orang-orang nekat berbondong mudik memenuhi bandara. Gongnya, pada Kamis (21/5) lalu, laporan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 mencatat rekor ada 973 penambahan kasus positif, hampir menyentuh angka seribu!

Lantas, mengapa masih banyak orang yang masih menganggap enteng virus ini dan memilih untuk tidak patuh?

Menurut psikolog, Intan Erlita, karakter atau mentality seseorang baik yang patuh maupun tidak bisa dilihat dari beberapa faktor, salah satunya adalah pola asuh yang diberlakukan dalam keluarga sejak kecil. Intan menjelaskan, pola asuh sedari kecil itu biasanya terbawa sampai besar, apakah keluarga sebagai fondasi awal terbiasa menerapkan aturan untuk ditaati.

1590401095-ilustrasi-mental.jpg

Ilustrasi masalah mental. (Pixabay)

Orang tua sebagai role model utama juga punya peran penting terhadap pembentukan karakter anak. Intan mencontohkan, orang tua bisa membiasakan diri untuk ‘memperlihatkan’ kebiasaan mereka soal aturan mana yang baik dan benar, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Kalau saya percaya banget dua karakter ini dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga, mereka yang terbiasa dibentuk oleh keluarga yang mengikuti aturan, ada tata krama, ada adab, kecenderungannya untuk melanggar aturan di masa dewasa itu tipis. Kecenderungannya, ya!" ujarnya.

Selain itu, faktor lingkungan juga punya andil dalam pembentukan karakter seseorang. Jika seseorang terbiasa hidup atau tinggal di lingkungan yang terbiasa melanggar, maka tak menutup kemungkinan ia akan tumbuh jadi seorang yang tak patuh. 

“Dengan siapa dia bergaul itu menentukan dia menjadi orang yang mengikuti aturan atau orang yang melanggar aturan,” tambah Intan.

Terlepas dari faktor eksternal seperti keluarga dan lingkungan, faktor internal seperti watak ‘bodo amat’ juga bisa jadi alasan mengapa orang masih banyak yang tak patuh aturan. Watak ‘bodo amat’ ini juga yang paling dekat dengan sifat egois.

Menurut Intan, orang yang ‘bodo amat’ ini hanya memikirkan dirinya sendiri dan nggak peduli sama lingkungan sekitar.

"Kalau orang itu karakternya udah bodo amat sama aturan, boro-boro dia mau ikutin peraturan pemerintah, boro-boro dia mau merasakan apa yang dirasakan oleh para tenaga medis sebagai garda terdepan kita saat ini, karena kan yang ada di dalam pikiran dia ini adalah saatnya bagaimana supaya keinginan saya bisa terlaksana," paparnya.

Dia menambahkan, orang yang melanggar ini juga kurang peka dan tak punya rasa empati.

"Karena kalau misalnya dia punya rasa empati sama orang lain dan simpati sama orang lain dan peduli sama orang lain maka kemungkinan besar dia untuk melanggar aturan itu tipis,” tegasnya.

1590401349-belanja-tengah-pandemi-antara.jpg

Warga berbelanja pakaian yang dijual pedagang kaki lima di Jalan Jati Baru II, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/5/2020). (ANTARA)

Namun, konteksnya akan berbeda jika kita berbicara soal faktor ekonomi. Sebab, ada beberapa orang yang memang tidak punya privilege untuk tetap di rumah dan menghasilkan uang. 

Beberapa memang menggantungkan hidupnya di jalanan, sehingga apabila mereka tak turun ke jalan, maka tak ada pemasukan untuknya.

Sedangkan si ‘bodo amat’ ini sebenarnya punya pilihan untuk tetap di rumah sambil berkegiatan seperti bekerja, sekolah atau kuliah, tapi dia memilih untuk tidak patuh. Ini yang jadi masalah.

Masih Ada Harapan?

Melihat melonjaknya kasus positif COVID-19 di Indonesia dan sulitnya masyarakat untuk disiplin, tentu membuat kita jengkel. Terutama bagi orang-orang yang sudah dengan rela menaati aturan stay di rumah, terkena dampak COVID-19 seperti PHK, pemotongan gaji, sampai yang paling rentan tentu saja tenaga medis sebagai garda terdepan.

Namun dr. Margareta Ginanti, yang kini tengah bertugas di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, tak lelah untuk mengajak masyarakat agar tetap mematuhi aturan dan tidak pasrah dengan keadaan.

“Kami sebagai tenaga medis sangat optimis kalau Indonesia bisa melewati pandemi ini bersama-sama, kita bisa bekerjasama, kita tidak boleh menyerah dan kita tidak boleh terserah dengan pandemi ini. Karena ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memutus rantai penularan COVID-19,” katanya.

1590401489-tenaga-medis-antara.jpg

Tenaga medis dengan alat dan pakaian pelindung membantu pasien positif COVID-19 melakukan peregangan tubuh di ruang ICU Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). (Ilustrasi/ANTARA)

Dia juga meminta masyarakat untuk mendukung para tenaga medis dalam menekan jumlah pasien yang tertular dari virus COVID-19 ini dengan mematuhi protokol kesehatan yang selama ini sudah dijalankan seperti menggunakan masker kain, mencuci tangan menggunakan sabun atau minimal dengan hand sanitizer, menjaga jarak aman minimal satu meter, menghindari kerumunan massa atau kegiatan berkelompok, dan menghindari aktivitas di luar rumah yang memang tidak diperlukan.

“Kita upayakan dengan maksimal protokol kesehatan yang sudah kita laksanakan ini dibarengi dengan doa, saya optimis Indonesia bisa segera mungkin pulih dari pandemi ini,” tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait