URedu

URtopic: Siasat Pengusaha di Tengah Corona Agar Tak PHK

Tim Urbanasia, Minggu, 17 Mei 2020 17.50 | Waktu baca 10 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
URtopic: Siasat Pengusaha di Tengah Corona Agar Tak PHK
Image: Ilustrasi pengusaha. (Girindra Syahputra/Urbanasia)

Jakarta - Tak hanya karyawan, para wirausahawan atau pengusaha pun mau tak mau juga ikut menjadi imbas dari wabah COVID-19. Ibarat koin, pengusaha tinggal memilih sisi mana yang akan ia pilih, "Bertahan dalam kondisi sulit, atau menutup segala bisnis tempat usahanya karena tak ada lagi pemasukan."

Salah satu bisnis yang sangat terdampak adalah bisnis kuliner restoran atau outlet. Seperti kita tahu, sejak virus COVID-19 menyerang Indonesia dan diberlakukannya physical distancing, membuat usaha F&B (food and beverage) yang mengandalkan makan di tempat (dine-in) sebagai ladang profitnya akhirnya mengalami sedikit penurunan.

Bisnis Kuliner

1589684103-bisnis-kuliner-pixabay.jpg

Ilustrasi bisnis kuliner. (Pixabay)

Hal ini pun diceritakan langsung kepada Urbanasia oleh salah satu pemilik salah satu outlet makanan bakso terkenal di Kota Malang yaitu Bakso Damas, Angga Setiawan.

Sebagai generasi penerus dari usaha milik ayahnya yakni Pak Damas, Angga mengatakan bahwa saat ini total ada 4 gerai Bakso Damas di Kota Malang dan Batu. Selain di Kota Malang, Bakso Damas juga memiliki cabang di beberapa kota lainnya di Jawa Timur seperti Tuban dan Surabaya.

"Nah, tapi saat ini yang difokuskan ada di area Malang saja dan jumlah karyawan untuk Kota Malang saja sekitar 30 orang. Jika ditotal dengan luar kota bisa mencapai 50 orang," ungkapnya.

Angga, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa ketika wabah COVID-19 ini terdengar masuk ke Indonesia, ia dan keluarganya pun langsung merasakan dampak yang luar biasa. 

"Jadi kan, istilahnya untuk menghindari penyebaran virus ini adalah nggak boleh ada keramaian. Sedangkan sistem di bisnis bakso Damas adalah prasmanan, ambil sendiri, hingga makan di tempat yang justru bisa menimbulkan keramaian. Ini sangat jelas berdampak pada penjualan yang sepi dan omset yang turun, apalagi rata-rata pelanggan yang datang biasanya dalam jumlah berkelompok," beber pengusaha berusia 25 tahun ini.

Tak hanya masalah sepi pelanggan, Angga dan para karyawannya pun harus memutar otak agar pelanggan masih bisa makan di tempat dengan penataan yang tetap memperhatikan jarak. 

"Akhirnya, ini sangat terasa adanya penurunan omset dalam segi jualan kami di outlet atau gerai. Sebenarnya, kami menjual produk kami dalam 2 cara, online dan offline. Dan yang paling terasa dampaknya adalah omset penjualan offline," jelas dia.

Menurut Angga, di masa pandemi seperti ini memang banyak orang tak mau sering keluar rumah dengan adanya juga imbauan Di Rumah Aja. Sehingga, banyak pelanggannya yang akhirnya membeli proudk bakso Damas melalui online seperti di aplikasi GrabFood atau GoFood. 

"Dan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang lebih memilih di rumah saja, kita juga memiliki produk frozen, yaitu bakso frozen. Sehingga, ketika dipesan bakso akan tahan lama jika disimpan di dalam kulkas," katanya.

Ia pun juga membeberkan bahwa dengan adanya pandemi lalu Pemerintah Kota Malang memberlakukan sistem PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, membuat beberapa gerainya harus tutup.

Hal ini dikarenakan ada beberapa gerainya yang berada di dalam mal. Sedangkan, menyisakan 1 outlet milik sendiri yang tidak berada di mal, melainkan di pinggir ruas jalan besar, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta, Kota Malang.

Tentu, Angga mengaku bahwa ini menjadi gelombang mengerikan berikutnya karena dia dihadapkan pada situasi yang berat. Ia menjelaskan bahwa dengan omset yang menurun di outlet milik sendiri, kini dengan adanya PSBB omset di 2 gerai lainnya harus tutup.

Hal ini jelas membuat pasak akan lebih besar daripada tiang, pengeluaran akan semakin besar dibanding pendapatan yang ia terima.

"Bisa dibayangkan setiap hari karyawan tetap kerja, produksi dapur tetap jalan, tapi di outlet tak ada pemasukan yang berarti. Saya pun harus putar otak," akunya.

Ia pun mengungkapkan "merumahkan" sementara para karyawannya yang semula menjaga outletnya di mal. Dengan harapan, ketika mal kembali dibuka, karyawannya bisa langsung bekerja kembali. 

"Beberapa karyawan saya terpaksa harus saya rumahkan, mas. Kalo terus dipertahankan hutang piutang bisnis ini bisa semakin tinggi dan berdampak pada kerugian. Jadi saya rumahkan sementara karena saya nggak sampai hati mau mem-PHK mereka. Selama di rumah, mereka menanti berganti shift dengan rekan-rekan karyawan yang ada di outlet. Jadi kita putar giliran gitu," paparnya.

Angga menjelaskan bahwa dia sangat memikirkan beban hidup karyawannya yang harus mereka tanggung, sehingga Angga melakukan kebijakan pemangkasan gaji bagi karyawannya.

"Nggak banyak mas, tapi di awal sudah kita sosialisasikan dan diskusikan sama mereka semua. Kita menghadapi sebuah situasi darurat dan tak pasti. Gaji mereka pun terpaksa kami potong paling maksimal 20 persen. Saya sendiri juga mengerti jika mereka di-PHK, tentu beban mereka untuk menghidupi mereka dan keluarga semakin berat. Jadi, saya dan keluarga memutuskan untuk memotong gaji mereka agar usaha tetap jalan dan karyawan tetap bisa bekerja," ujarnya panjang lebar.

Dirinya juga mengaku bahwa di masa pandemi Corona ini, omset yang dia hasilkan bisa turun hampir mencapai 60 persen daripada masa normal. Sehingga, produksi di dapur pun dia minimalisir dengan sesuai kebutuhan pasar atau jika ada yang memesannya.

"Kita sekarang juga buka layanan WhatsApp dan kita pasang di outlet Suhat yang masih buka untuk melayani take-away. Jadi kalo ada yang mau pesan dari rumah tanpa keluar juga bisa. Sehingga, ini setidaknya bisa menutup omset yang biasa kita dapatkan sebelum wabah Corona," beber dia.

Ia juga menceritakan bagaimana perbedaan di masa pandemi dan sebelumnya dari segi proses produksi. 

"Kalo biasanya kan yaudah masak sih biasa, barang dari supplier kita terima, kita cuci bersih lalu dimasak dan outlet juga rutin kita bersihkan. Tapi sejak ada wabah COVID-19 ini, semuanya jadi mengikuti protokol kesehatan. Kita sediakan masker dan sarung tangan plastik untuk karyawan, bahan baku dari supplier kita sterilisasi dulu baru kita cuci bersih. Bahkan warung yang biasanya hanya dibersihkan seperti disapu dan dipel, kini harus menyediakan tempat cuci tangan di depan outlet dan menyemprot cairan disinfektan sebelum gerai dibuka," ungkapnya. 

Ia pun hanya berharap pandemi ini segera usai, supaya penghasilan kembali lancar dan karyawannya sudah bisa bekerja normal dengan gaji yang standar pada umumnya.

"Tapi sebenarnya ada hikmah juga dari pandemi ini bahwa kita harus tetap bersyukur. Meski tak besar seperti biasanya, profit yang kita terima setidaknya masih bisa untuk kehidupan sehari-hari dan kebutuhan karyawan juga. Selain itu, kita juga lebih menerapkan SOP kebersihan yang jauh lebih bersih daripada biasanya sehingga kehigienisan mulai dari bahan baku, proses memasak hingga gerai atau outlet terjaga," tutup dia.

Industri Kreatif

1589684202-industri-kreatif-pixabay.jpg

Ilustrasi industri kreatif. (Pixabay)

Tak hanya di bidang kuliner, usaha di bidang industri kreatif juga tak luput dari imbas mewabahnya virus COVID-19 ini. Salah satu yang mengalami itu adalah Ipah Rosipah. Seorang socioenterpreneurship atau pengusaha sosial di bidang produksi merchandise dan wedding souvenir di wilayah Bandung. 

Setiap bulannya, Ipah dan karyawannya bisa mengerjakan hingga lebih dari 1000 pieces pesanan merchandise seperti totebag, gantungan kunci, bantal, pouch, dan souvenir-souvenir lainnya.

Bernama Sahabi, Ipah dan timnya menggerakkan roda bisnis ini dimulai dengan inisiasi Ipah untuk membantu teman-temannya di lingkungan panti asuhan di wilayahnya, Al Qomariyah. Di panti asuhan tersebut, ada beberapa anak-anak muda yang masih berkuliah dan membutuhkan biaya untuk kuliah.

"Jadi, aku ajak mereka untuk menghasilkan uang sendiri secara mandiri dan bisa membiayai kuliah mereka. Tapi karena kuantitasnya tinggi, kita juga kerjasama dengan konveksi dari luar agar tidak terlalu membebani pekerjaan yang lebih tinggi dan bisa diselesaikan oleh mereka dengan nyaman," ujar Ipah.

Ipah juga menjelaskan bahwa produk souvenir dan merchandise yang diproduksi bukan sekadar seperti pernak pernik pada umumnya, tapi barang yang diproduksi juga mendukung aksi peduli terhadap lingkungan seperti zero waste.

"Kita berangkat dari ide bahwa banyak orang yang suka ngasih souvenir-souvenir nggak useful, jadi dengan apa yang kita produksi selain membantu mengurangi sampah lingkungan juga membantu anak-anak panti yang sedang berkuliah," ungkapnya.

Bahkan tak hanya untuk keperluan pernikahan, perempuan berusia 26 tahun ini juga mengungkapkan bahwa jika tak ada wabah COVID-19 ini, seharusnya produk-produk seperti sajadah untuk traveler atau keperluan lebaran yang sudah diproduksi masal bisa terjual.

"Sayang, wabah COVID-19 ini harus mengubah strategi bisnis kita dengan cepat dan akhirnya seperti sajadah berukuran kecil dan tipis untuk traveling jadi nganggur. Karena orang-orang juga nggak boleh bepergian dan juga mudik. Mau nggak mau akhirnya kita merubah strategi produk atau barang yang kita jual," jelasnya.

Kini, ketika wabah pandemi masih menjangkiti masyarakat Indonesia, Ipah akhirnya mengajak karyawannya dan dibantu dengan pihak dari luar tim untuk memproduksi masker. 

"Alhamdulillah ketika dengar kabar virus COVID-19 masuk Indonesia, saya sempat berpikir sebentar, memikirkan apa yang harus dilakukan jika ini sampai lockdown. Akhirnya ketemu, kita sepakat membuat masker. Kebetulan juga demand sedang tinggi," jelasnya.

Ipah menceritakan sebenarnya bisnis merchandise atau souvenir seperti ini memang tergantung pada event yang ada. Ketika wabah COVID-19 merebak dan event banyak yang ditunda, akhirnya order kepada Ipah dan tim juga berkurang.

"Pasti langsung drop mas penjualan kita. Tapi, saya selalu bersyukur langsung mengganti strategi dengan melakukan diversifikasi produk. Kita sekarang menjual produk masker dan kebutuhan yang diperlukan saat ini," katanya.

Ipah pun menjelaskan bahwa dalam menciptakan diversifikasi produk, ia tidak bisa langsung menentukan akan membuat dan menjual produk apa. Tapi, diperlukan proses research and development yang matang agar produk yang dihasilkan memang dibutuhkan masyarakat saat ini.

"Salah satunya hasil riset yang ada dan saya dan tim akan lakukan ke depannya adalah membuat masker custom sehingga customer bisa memilih desain atau model masker yang dia inginkan," jelasnya.

Saat disinggung mengenai omset yang sempat turun, sebenarnya Ipah terlalu merasakan dampaknya karena pemikiran yang dia lakukan selalu dibalik dari pemikiran pengusaha pada umumnya.

"Profit tetap penting, tapi asalkan kita bisa mengatur sistem bagi hasil yang tepat bagi karyawan dan konsumsi pribadi, kita tidak akan mengalami kerugian yang besar karena dari awal sudah dibiasakan untuk berhemat dan menabung. Jadi sewaktu-waktu ada force major terjadi kita sudah siap," aku dia.

Dia juga mengatakan bahwa dengan adanya wabah pandemi ini dia melihat pengusaha-pengusaha mungkin yang sering hidup mewah dari profit yang ia dapatkan, bisa menjadi pembelajaran baru supaya bisa mengatur cashflow dengan baik.

"Ini saatnya bagi mereka untuk bisa belajar berbagi. Belajar mencari strategi baru supaya karyawan tidak di-PHK dan bisa mencari alternatif baru dari lini bisnis yang mungkin masih linier dengan model bisnis utamanya," tukasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ipah juga mengaku selain berbisnis di bidang industri kreatif, ia juga sebenarnya memiliki bisnis makanan yakni bawang goreng. 

"Sebenarnya ketika wabah COVID-19 terjadi, saya juga sudah memikirkan harus ada bisnis lainnya yang bisa dijadikan andalan pemasukan. Dengan tetap menggunakan semangat sociopreneur, saya mengajak tetangga saya untuk mengolah bahan baku, memasak hingga packing dari rumah masing-masing. Dan lumayan ternyata bisnis makanan ini justru banyak orang juga memesan untuk hidangan di rumah," bebernya.

Perusahaan Media

1589684322-ilustrasi-perusahaan-media-pixabay.jpg

Ilustrasi perusahaan media. (Pixabay)

Jika Ipah melakukan strategi dengan cara diversifikasi produk, lain halnya yang dilakukan oleh Ruri, salah satu pemilik media online di Jakarta. Agar bisnis media yang dimilikinya tetap jalan dan karyawan tidak di-PHK, Ruri sudah menyiapkan sejak awal dana cadangan darurat bila terjadi force major.

Media yang saat ini terbilang masih hidup karena menghasilkan konten-konten informasi, tapi ada lini bisnis media yang harus sedikit "berbeda" dibanding sebelum ada wabah pandemi.

"Salah satu yang jelas berimbas pada media adalah cost operational yang tetap tapi pendapatan dari segi iklan, khususnya di salah satu lini bisnis media yaitu, digital agency. Pendapatan jelas terlambat masuk dan menurun lantaran banyak pihak yang campaign atau projectnya dijalankan oleh digital agency menjadi berhenti atau ditunda. Sehingga, aliran dana masuk sedikit terhambat," akunya.

Beruntung, strategi menekan cost operational sejak awal dia mendirikan perusahaan media ini dan juga menekan anggaran keluar besar menjadi kunci sukses karyawannya tidak ada yang di PHK.

"Menekan cost dari operasional pribadi itu yang penting. Asal karyawan sudah terlebih dahulu gajian, rela direksi tidak gajian. Jadi ini sangat membantu dari segi arus keuangan perusahaan," bebernya.

Kepada Urbanasia, Ruri mengungkapkan bahwa banyak perusahaan media di luar sana banyak yang banting setir. 

"Pasarnya berubah, daya beli dan jual berubah. Akhirnya, mereka pun dituntut kreativitas untuk menciptakan peluang. Inilah yang juga dilakukan oleh media saya dalam mencari pendapatan baru bagi perusahaan. Mengikuti tren yang ada dan berharap ada pemasukan. Sehingga karyawan pun bisa tetap menerima gaji, bahkan untuk THR tahun ini bisa dibilang aman," jelasnya.

Sejak awal wabah COVID-19 masuk ke Indonesia, Ruri mengatakan bahwa tim direksinya telah berdiskusi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. 

"Business plan ikut berubah dari yg konvensional harus jemput bola. Karena para perusahaan atau klien di luar sana juga menahan anggaran untuk beli iklan di media," imbuhnya.

Ia pun berharap bahwa pandemi ini bisa berakhir dan perlu adanya ketegasan atas kebijakan pemerintah.

"Dengan kondisi seperti ini, pemerintah masih kurang tegas, sudah terlihat dari awal. Wabah menyebar mereka malah lamban. Terlalu menyepelekan, kebijakan jadi tidak firm. Sebagai pengusaha, amat sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah. Jadi kebingungan untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Harus memikirkan SDM juga. Merasakan sebuah ketidakpastian akan pulihnya ekonomi Indonesia," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait