URtrending

URtopic: Abai Larangan Mudik, Pasrah atau Masa Bodoh?

Tim Urbanasia, Senin, 25 Mei 2020 16.30 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
URtopic: Abai Larangan Mudik, Pasrah atau Masa Bodoh?
Image: Ilustrasi Mudik. (Girindra Syahputra/Urbanasia)

Jakarta - “Pastinya hari raya Idulfitri nanti saya bakalan pulang ke kampung ketemu orang tua. Habis gimana lagi? Keluarga saya semua di sana. Palingan saya antisipasi pake masker dan rajin cuci tangan selama perjalanan.”

Menjadi Tradisi Tahunan

Romi, sebut saja begitu, seorang karyawan swasta yang bekerja di Jakarta, mengisahkan rencananya untuk mudik ke Banten tempat orang tuanya dan keluarga besarnya bermukim.  Di tengah larangan pemerintah untuk tidak mudik, Romi masih bertekad untuk menjenguk kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

Berbicara tentang hari raya Idul Fitri, tentunya tak bisa lepas dari tradisi mudik atau kembali ke kampung halaman. Bagi mereka yang merantau ke kota atau negara lain, momen ini kerap menjadi kesempatan besar untuk bersilaturahmi dengan keluarga, melakukan sungkeman, dan beristirahat sejenak dari rutinitas pekerjaan.

1590370879-mudik-antara.jpg

Ilustrasi pemudik. (ANTARA/Dian Hadiyatna)

Konon, istilah mudik mulai banyak digunakan di era tahun 1970an, saat kota Jakarta mulai berkembang menjadi pusat perekonomian negara. Tingginya perputaran uang di Jakarta ibarat magnet buat orang-orang di kota lain untuk mencoba peruntungan dan mengubah nasibnya.

Hari Lebaran biasanya menjadi waktu di mana para pekerja memiliki hari libur yang panjang untuk kembali ke tempat asalnya. Itulah kenapa momen ini banyak ditunggu-tunggu untuk melakukan perjalanan melepas rindu dengan keluarga besar.

Namun, ada yang berbeda tahun ini. Pandemi COVID-19 tengah meliputi antero negeri. Harapan dan impian untuk pulang ke kampung halaman terhambat oleh ancaman virus berbahaya ini.

Untuk itu, pemerintah pun telah memutuskan untuk melarang kegiatan tradisi tahunan ini, guna menghindari risiko penyebaran COVID-19 yang lebih luas.

Mudik Tetap Dilarang

Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (COVID-19) Doni Monardo, menegaskan bahwa aktivitas mudik selama pandemi COVID-19 tetap dilarang.

“Tidak ada perubahan peraturan tentang mudik. Artinya, mudik dilarang, titik. Saya tegaskan sekali lagi, mudik dilarang, titik,” ucap Doni menanggapi keraguan masyarakat yang menilai kebijakan mudik telah dilonggarkan.

1590370037-larangan-mudik-antara.jpeg

Sejumlah angkutan umum diberhentikan, kemudian diperiksa oleh petugas kepolisian di Gerbang Tol Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jumat (22-5-2020). (Ilustrasi/ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Namun, tampaknya larangan ini tak menjadi penghalang bagi beberapa orang seperti Romi. Meskipun ada kekhawatiran akan adanya risiko sebagai pembawa virus atau carrier, kerinduan pada orang tua dan keluarganya sepertinya lebih kuat daripada kekhawatirannya akan terjangkit COVID-19 maupun menyebarkannya.

“Nggak papa sih, nggak usah serem-serem dan lebay banget. Kita kan bersaudara. Banyak juga yang saya lihat nggak pakai masker juga sehat-sehat aja. Apalagi kan sekarang bandara juga udah dibuka,” papar Romi meyakinkan dirinya.

Mobilitas Manusia Jadi Penyebabnya

Seperti diketahui, COVID-19 ini adalah penyakit yang mewabah akibat kontak dan mobilitas manusia. Tidak hanya secara lokal, perpindahan manusia dan akses keluar masuk antarkota dan antarnegara terbukti menjadi biang keladi jatuhnya korban hingga lebih dari dari 5 juta orang di seluruh dunia.

Rupanya angka ini tak bikin kecut hati semua orang. Dilaporkan bahwa tak sedikit warga yang bermain kucing-kucingan dengan aparat demi keinginan bertemu dengan sanak saudara di kampung halaman. Mereka yang lolos dari penjagaan aparat ini antara lain pemudik bermotor yang menggunakan jalur non-tol. Mereka mengirimkan barang-barang melalui kurir, sehingga tampak sebagai pengendara kendaraan bermotor biasa. 

1590370356-Bima-Arya-antara.jpg

Wali Kota Bogor Bima Arya meninjau kesiapan RW siaga dalam mengantisipasi pemudik di RW 08 Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Kamis (21/5/2020). (Ilustrasi/ANTARA)

Selain itu, tak sedikit pula mobil-mobil yang mencoba melewati perbatasan kota. Tercatat hingga 22 Mei lalu, Polda Metro Jaya telah mengeluarkan lebih dari 70 ribu blanko teguran pelanggaran dan memutarbalikkan lebih dari 25 ribu kendaraan agar kembali ke Jakarta.

Saat ini, propinsi DKI Jakarta menempati urutan tertinggi dalam jumlah kasus positif, yaitu lebih dari 6,400 kasus. Ibukota juga memiliki kasus kematian tertinggi yang mencapai 504 jiwa, pada 23 Mei. Itulah salah satu alasan kuat bahwa mudik dari Jakarta ke kota lain dinilai sangat berisiko.

Menanggapi hal ini, Romi mengaku tidak terlalu memikirkan risiko selanjutnya akibat aktivitas mudiknya.

“Ada yang bilang juga sih, kalau alay malah nanti stress. Mendingan santai aja ngadepinnya,” ucap Romi.

Mudik Sembari Melakukan Tugas

Sementara itu, panggil saja Budi, karyawan swasta di Jakarta, punya cara khusus untuk berhasil pulang ke kampung halamannya di Pemalang. Budi dan dua orang rekannya, kebetulan punya misi tersendiri, yaitu melakukan distribusi bantuan sosial sembari melakukan perjalanan ke Pemalang.

“Bersama teman-teman organisasi paguyuban. Kami naik kendaraan pribadi. Kondisi jalanan waktu itu cukup lengang dan waktu itu masih PSBB. Sempet juga sih diperiksa petugas dan ada pemeriksaan. Ada notifikasi untuk membuka jendela kendaraan, kita lakukan itu,” jelas Budi.

1590370630-antarafoto-pengemasan-paket-bansos-220420-mrh-5-1.jpg

Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). (Ilustrasi/ANTARA/M Risyal Hidayat)

Budi mengatakan bahwa ia memutuskan untuk mudik karena punya tujuan menyalurkan bantuan sembako, sekaligus ingin bertemu orang tuanya. Meskipun sempat merasa was-was dan khawatir bakal disuruh putar balik ke Jakarta oleh petugas, Budi dan beberapa rekannya berhasil melewati penjagaan dan sampai di kampung halamannya dengan selamat.

Mengaku mengikuti prosedur protokol kesehatan, Budi dan rekan-rekannya melaporkan diri kepada warga setempat. Mereka pun didata dan kemudian melakukan karantina mandiri.

Membahayakan Sistem Kesehatan

Perlu disadari bahwa risiko penularan yang lebih besar akan berdampak pada kondisi yang lebih serius, yaitu terjadinya ketidakseimbangan yang besar antara jumlah tenaga medis dan fasilitas kesehatan, dengan jumlah kasus.

Seperti diketahui, jumlah dokter dan nakes yang meninggal akibat COVID-19 sudah cukup tinggi. Gugus penanganan COVID-19 menyebutkan setidaknya 55 tenaga kesehatan telah gugur akibat COVID-19. Angka ini akan terus meningkat jika jumlah kasus tidak dapat dikendalikan.

1590371484-masker-jangan-mudik-antara.jpg

Warga menunjukkan masker kain yang didesain dengan tulisan "Jangan Mudik" sebelum dibagikan kepada masyarakat di Pekanbaru, Riau, Senin (11/5/2020). (Ilustrasi/ANTARA/Rony Muharrman)

Sebagai garda terdepan, dokter dan perawat tidak dapat meninggalkan tugasnya dalam melayani para pasien. Namun, risiko yang begitu besar terus mengintai mereka.

Wajar saja kalau seorang tenaga medis menyampaikan kekecewaannya dengan menulis “Indonesia?? Terserah!!!” di baju APD-nya menyusul kerumunan masa saat penutupan gerai makanan cepat saji di kawasan Thamrin Jakarta dan juga potret padatnya bandara Soekarno-Hatta pada Jumat 15 Mei lalu.

Membantu para nakes dengan ikut menghindari risiko penularan, juga berarti menjaga sistem pertahanan kesehatan kita agar tidak kacau balau. Bisakah kita semua mengupayakan hal itu?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait