URnews

Usai Black Lives Matter Dunia Butuh #HumanLivesMatter, Mengapa?

Wildanshah, Senin, 29 Juni 2020 18.45 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Usai Black Lives Matter Dunia Butuh #HumanLivesMatter, Mengapa?
Image: Ilustrasi identitas diri. (Freepik)

Jakarta - Narasi tentang identitas kembali menjadi perdebatan publik sejak munculnya gerakan #BlackLivesMatter, sebuah tuntutan atas kesetaraan antar identitas yang menjadi tajuk utama di berbagai belahan dunia. 

Di sisi lain, Francis Fukuyama melalui buku Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentmen, seolah ingin mengajak setiap orang untuk kembali merekonstruksi identitas dan martabat kita, entah sebagai manusia maupun warga negara.

Menurut Francis Fukuyama, ada pergeseran besar pemikiran politik abad ke-20 menuju abad ke-21. Pada abad ke-20,  kerangka sepektrum politik kiri dan kanan didasari isu-isu ekonomi.

Pada masa itu, kelompok kiri menuntut “kesetaraan ekonomi” sedangkan kelompok kanan memperjuangkan “kebebasan ekonomi”. 

Yang pertama, berharap negara terlibat mengatur roda ekonomi,  yang kedua, meminta sebaliknya, lebih baik negara jangan ikut campur tangan.

Memasuki abad ke-21, Francis Fukuyama (2018) mengatakan:

“Spektrum tersebut tampak luruh di banyak wilayah yang sarat akan definisi identitas. Kelompok kiri kurang fokus pada ketimpangan ekonomi yang lebih luas dan banyak mempromosikan kepentingan berbagai kelompok marginal—kulit hitam, imigran, Hispanik, perempuan, komunitas LGBT, dan sejenisnya. Sementara itu, kelompok kanan meredefinisi diri sendiri sebagai patriot yang berupaya melindungi identitas nasional tradisional, identitas yang secara eksplisit terhubung dengan ras, etnis, atau agama."

Berangkat dari pemikiran Francis Fukuyama, saya menarik kesimpulan bahwa di abad ini, perjuangan politik bukan hanya untuk memperjuangkan hak ekonomi, tetapi juga memperjuangkan hak sosial dan martabat kelompok tertentu.  

Didorong oleh perjuangan politik, identitas bukan lagi persoalan personal, tetapi sudah menjadi masalah publik yang memaksa negara untuk terlibat di dalamnya.

Karena semakin beragamannya identitas di tengah masyarakat, identitas memiliki dua sisi yang sama-sama tajam: sisi yang dapat meyatukan masyarakat dan sisi yang bisa memecah belah masyarakat.

Melalui tulisan ini, saya ingin menjawab pertanyaan besar terkait apakah identitas itu?

Merujuk pada Chris Barker (2000), identitas merupakan konstruksi sosial yang dapat terus berubah seiring perjalanan individu maupun kelompok. Jadi, identitas bukanlah fakta biologis yang universal tetapi merupakan kategori kultural yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Bagi sebagian besar orang, tubuh adalah kartu identitas bagi individu. Hal ini selaras dengan argumen, Harold R. Isaacs dalam Idols of the Tribe: Group Identity and Polical Change (1975) ia menyatakan tubuh itu merupakan unsur pokok yang paling jelas terlihat, dimana identitas individu atau kelompok dibuat.

Bagi Harold R. Isaacs, tubuh merupakan unsur biologi yang tidak bisa dibantah, tidak seperti identitas lain yang dapat diadopsi seperti fesyen, agama, nama, bahasa, kewarganegaraan, adat istiadat, tata karma, norma, nilai bahkan gaya hidup yang dapat dipelajari dan diganti tergantung keinginan individu. Lebih dari itu, Harold R. Isaacs meyakini bahwa ciri khas fisik berfungsi sebagai “KTP” yang menegaskan siapa “kita” dan siapa “mereka”.

Tapi, untuk pernyataan Harold R. Isaacs yang menganggap tubuh tidak bisa dibantah, saya tidak sepakat sepenuhnya. Karena hari ini, dengan kemajuan teknologi, setiap orang dapat memodifikasi tubuhnya melalui implan, tindikan, tato, operasi plastik  dan  operasi kelamin.

Mungkin hal-hal yang dulu dianggap mustahil secara biologis, akan sangat mungkin dilakukan karena kemajuan bioteknologi di masa depan. Dengan demikian, identitas akan semakin cair dan dinamis.

Sebagai manusia di tengah masyarakat, identitas individu “dibentuk” oleh proses-proses sosial yang menciptakan “identitas diri” dan “identitas sosial”.  

“Identitas diri” adalah sesuatu yang individu yakini dan perjuangkan, sedangkan “identitas sosial” merupakan harapan orang lain dalam hal ini bisa jadi dari keluarga, komunitas, masyarakat, bahkan negara terhadap identitas individu.

Hal ini semakin membenarkan bahwa identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi atau laten. Jadi yang ingin saya tegaskan, identitas seseorang sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dari sesuatu di luar diri individu.

Maka dari itu, identitas seseorang sangat tergantung maknanya terkait dengan ruang, waktu dan “pemakaian” yang berbeda.

Saya bersepakat dengan Anthony Giddens (1991), identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri. Mudahnya, Giddens, menganggap identitas sebagai proyek.

Maksudnya, identitas adalah proyek pribadi bagi individu, yang dimana identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang terus berproses, dan “berdialog” dengan ekosistem sosial.

Proyek identitas membentuk apa yang kita pikirkan tentang kita dari sudut pandang masa lalu, masa kini, dan seluruh harapan kita tentang masa depan.

Dengan demikian, identitas adalah cara bagi individu untuk mencari kesamaan dengan orang lain, dan saat bersaman mencari sesuatu yang membedakan diri dengan orang lain. 

Proyek identitas merupakan proses yang kompleks dan reflektif karena adanya mekanisme sosialisasi dan akulturasi di tengah masyarakat. Situasi ini yang juga turut membuat identitas individu  tidak pernah bisa tunggal.

Karena identitas individu merupakan akumulasi dari beragam dan banyak identitas, yang bahkan seringkali berlapis dan berkontradiksi.

Dengan tidak adanya identitas tunggal dalam tubuh individu, maka membentur-benturkan identitas merupakan hal aneh bagi saya. Konflik identitas jelas adalah isu yang terlalu dibuat-buat demi agenda politik semata.

Pertempuran identitas selalu berakhir dengan konflik horizontal yang kontra produtif bagi kemajuan peradaban manusia secara menyeluruh dan cenderung terjerat oleh sikap ekslusifisme, barbarism atau rasisme. 

Untuk kebaikan bersama, kita harus membuat proyek identitas yang dapat mempersatukan seluruh elemen masyarakat yakni identitas sebagai manusia sebuah gerakan yang mengkampanyekan #humanlivesmatter; alih-alih cuma #blacklivesmatter.

Gerakan #humanlivesmatter harus membawa agenda melawan segala bentuk marjinalisasi sistemik dan struktural yang menimpa seluruh umat manusia.

 

**) Penulis merupakan Komisaris perkumpulan Warga Muda (wargamuda.com) dan Chief Destruction Officer Mindstream!. Saat ini ia tergabung ke dalam Indonesia Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait