URnews

4 Fakta Putusan MK Terkait Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua

Nivita Saldyni, Selasa, 21 Juni 2022 15.45 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
4 Fakta Putusan MK Terkait Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua
Image: Ilustrasi - Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, Senin (20/6/2022). (YouTube Mahkamah Konstitusi RI)

Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman harus mundur dari kursi ketua MK. Putusan ini muncul usai hakim konstitusi memutuskan Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK bertentangan dengan UUD 1945 dalam sidang Senin (20/6/2022).

Nah untuk tahu lebih dalam soal putusan tersebut, yuk simak empat fakta yang sudah dirangkum Urbanasia berikut ini!

Berawal dari Diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2020, Berujung Gugatan Masyarakat

Semua ini berawal dari keputusan DPR merevisi UU MK. Hingga akhirnya lahirlah UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang salah satu poinnya mengatur soal masa jabatan hakim konstitusi.

Jika berdasarkan aturan lama, yaitu Pasal 22 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, jabatan hakim konstitusi ditetapkan per lima tahun sekali. Kemudian hakim konstitusi dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, maksimal maksimal dua periode.

Sementara menurut aturan baru, yaitu Pasal 87 UU Nomor 7 Tahun 2020 hal itu diubah sehingga Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap bisa menduduki kursi tersebut hingga masa jabatannya berakhir atau pensiun di usia 70 tahun, selama keseluruhan masa jabatannya tak melebihi 15 tahun.

Kemudian sejumlah nama/kelompok masyarakat pun menggugat UU MK baru itu. Masyarakat melakukan judicial review UU MK tersebut. Salah satunya Allan Fatchan Gani Wardhana, Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga merupakan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII.

Ia telah mengajukan permohonan kepada MK untuk melakukan pengujian konstitusionalitas UU MK secara materiil atas berlakunya beberapa pasal dalam UU MK yang baru, termasuk Pasal 87 huruf b. Gugatannya itu pun telah diputus dalam sidang putusan yang digelar Senin (20/6/2022).

Dalam permohonannya, Allan menyebut Pasal 87 huruf b UU MK yang berbunyi,"Hakim Konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun", bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Tepatnya Pasal 1 ayat (2); Pasal 1 ayat (3); Pasal 24 ayat (1); Pasal 24C ayat (3); Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28D ayat (3). 

“Ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan karena akan langsung meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun, walau sudah menjalani periode kedua jabatannya serta dapat langsung menjabat tanpa melalui proses seleksi kembali. Padahal, hakim konstitusi yang saat ini menjabat pada saat UU MK diundangkan, diangkat berdasarkan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang masih mengatur adanya periodisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan," jelasnya panjang lebar.

Selain itu menurutnya ketentuan Pasal 87 huruf b juga telah memberikan ruang intervensi kepada independensi personal hakim konstitusi karena membuka ruang yang lebar bagi hakim konstitusi untuk 'tersandera' dengan kepentingan politik pembentuk UU MK yang memberikan keuntungan jabatan kepada mereka yang sedang menjabat pada saat UU MK ini diundangkan. Hal ini juga menurutnya bisa membuka ruang potensi konflik kepentingan.

Hal senada juga diajukan oleh warga Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara bernama Priyanto. Ia mengajukan pengujian konstitusionalitas atas materi muatan ketentuan Pasal 87 huruf a dan huruf b dalam Pasal I angka 15 UU 7/2020.

Menurutnya, pasal tersebut tak selaras dengan Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 dan juga bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya dalam ketentuan itu terdapat unsur ketidakpastian hukum dengan adanya frasa 'tetap menjabat' dalam Pasal 87 huruf a.

"Seharusnya Ketua dan Wakil Ketua MK yang sedang menjabat akan mengakhiri jabatannya apabila Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) dalam Pasal I angka 1 UU 7/2020,” ungkapnya.

“Oleh karena itu, keadaan yang diatur dalam Pasal 87 huruf a dalam Pasal I angka 15 UU 7/2020 tentu sangat potensial mengurangi hak-hak konstitusional Pemohon,” sambung pemohon dalam gugatannya.

Belum lagi kata-kata 'sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan undang-undang ini' juga dinilai multitafsir. Sehingga, kondisi ini dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil.

Keputusan MK yang Buat Anwar Harus Tinggalkan Kursi Jabatannya sebagai Ketua

Dalam persidangan Senin (20/6/2022), MK memutuskan mengabulkan gugatan tersebut. Hasilnya, MK memutuskan Pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan UUD 1945 karena kehendak pembentuk UU hanya mengubah masa jabatan hakim konstitusi, bukan jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK.

"Menyatakan Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia," kata Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang yang dipimpinnya.

Keputusan tersebut membuat Anwar Usman dan Aswanto harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK dan Wakil Ketua MK.

Nah, Pasal 87 UU 7/2020 sendiri berbunyi:

a. Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;

b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.

Jika berdasarkan ketentuan tersebut, maka masa jabatan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi berakhir sampai 6 April 2026. Sementara Aswanto akan berakhir pada 21 Maret 2029.

Anwar Usman Masih Punya Waktu hingga 9 Bulan Lagi

Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebut, baik Anwar maupun Aswanto bisa saja tak langsung mundur dari jabatannya masing-masing. Ia. Menjelaskan keduanya tetap sah sebagai hakim konstitusi sampai dengan terpilihnya Ketua dan Wakil Ketua MK yang baru.

“Agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo, maka Ketua dan Wakil Ketua MK yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua MK sebagaimana amanat Pasal 24C ayat 4 UUD 1945,” ujar Enny.

“Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," sambungnya.

Respons Anwar Usman soal Putusan Sidang

Dalam kesempatan itu, Anwar angkat bicara soal putusan sidang yang memutuskan dirinya harus mundur dari jabatan. Menurutnya, ia tak perlu perlu mundur dari jabatan Ketua MK. Ia pun menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda dan menilai Pasal 87 ayat a sesuai dengan konstitusi.

"Pasal 87 huruf a menyangkut masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK karena jabatan dimaksud merupakan bagian dari hak memilih dan dipilih dari para hakim konstitusi, maka sudah selayaknya dan sewajarnya jika persoalan tersebut dikembalikan kepada pemangku hak, yakni para hakim konstitusi," kata Anwar Usman.

Menurut Anwar meskipun para pembentuk Undang-undang berkeinginan untuk menjaga proses transisi kepemimpinan di MK tetap berjalan dengan baik, namun keinginan itu harus dikembalikan ke pemangku hak.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (3) a UU 7/2020, yaitu proses pemilihan ketua dan wakil ketua MK dilakukan oleh sembilan hakim konstitusi yang telah memenuhi syarat. Sehingga ia menilai proses transisi kepemimpinan di MK dapat berjalan baik dan lancar.

"Tanpa mengurangi hak memilih dan dipilih yang dimiliki oleh sembilan hakim konstitusi yang telah memenuhi syarat sebagaimana diuraikan pada ketentuan peralihan Pasal 87 huruf b UU 7/2020," pungkasnya.

Sayangnya pendapat tersebut tak berhasil membuat perubahan. Suara Anwar Usman kalah dengan keputusan hakim konstitusi lainnya sehingga ia harus tetap mundur dari jabatannya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait