URnews

Aktivis Tuli Surya Sahetapy Kritik Aksi Risma Paksa Difabel Bicara

Nivita Saldyni, Kamis, 2 Desember 2021 17.36 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Aktivis Tuli Surya Sahetapy Kritik Aksi Risma Paksa Difabel Bicara
Image: Mensos Risma saat meminta Aldi bicara di depan publik (YouTube Kemensos RI)

Jakarta - Aktivis tuli, Surya Sahetapy angkat bicara soal sikap Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang memaksa seorang penyandang disabilitas tuli berbicara di depan publik.

Lewat akun Instagram pribadinya, Surya pun menyampaikan kritik terhadap pernyataan Risma dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021 pada 1 Desember lalu yang kini tengah jadi sorotan publik.

"Saya dukung sikap kerja dan integritas bu Risma untuk Indonesia, tetapi tidak sependapat sudut pandang beliau tentang Tuli-HoH, Bahasa Isyarat, Budaya Tuli-HoH dan aksesibilitas," kata Surya, seperti dikutip Urbanasia pada Kamis (2/12/2021). 

"Bahasa isyarat oke, bicara oke, tapi 'memaksa' sih NO. Memang banyak ragam komunikasi di komunitas kami bukan berarti kami harus 'dipaksa' untuk menyesuaikan kalian seperti orang dengar yang non pengguna bahasa isyarat," imbuhnya.

Dalam postingan lainnya, Surya juga menjelaskan bahwa tidak semua anak bisa bicara. Faktor bicara itu sendiri, kata Surya, berdasarkan tingkat pendengaran mereka, alat bantu dengar, terapi wicara yang berkesinambungan, dan banyak lagi lainnya.

"Tidak semua anak bisa berbicara. Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan-ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah serta waktu orangtua untuk anaknya sendiri juga terutama sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi pendidikan luar biasa saat ini belum humanis," kata Surya.

Ketimbang memaksa mereka untuk berbicara, Surya menyarankan Risma untuk memberikan kebebasan terhadap yang bersangkutan dengan memberikan pilihan cara berkomunikasi yang diinginkan anak tersebut.

"Seharusnya digantikan pertanyaan: Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat, boleh berbicara, dll. Biar ibu yang belajar memahamimu," kata Surya.

"Tanyakan komunikasi mereka bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita tanpa memahami kenyamanan mereka," imbuhnya.

Dari kejadian ini, Surya pun mengajak masyarakat agar tak bersikap linguicism. Linguicism, kata Surya, merupakan pandangan menganggap orang pakai bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat.

"Hindari sikap linguicism ya kawan-kawan!" pesan Surya.

"Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia. Mari ROMBAK sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045, ya Tuhan!" pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait