URnews

Memahami Aspek Politik pada Pemetaan Sebuah Wilayah

Agung Christianto, Jumat, 12 Maret 2021 11.50 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Memahami Aspek Politik pada Pemetaan Sebuah Wilayah
Image: Peta Indonesia. (portal.ina-sdi.or.id)

Jakarta - Peta didefinsikan sebagai gambaran dari unsur-unsur alam maupun unsur buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi.

Gambaran itu disajikan pada bidang datar, dengan skala tertentu. Penggambaran unsur alam maupun unsur buatan manusia yang mengikuti skala tertentu itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013, peraturan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, peta tak hanya berwujud kertas bergambar. Peta dapat hadir sebagai informasi bermedium elektronik yang dapat diakses dan digunakan pada perangkat digital.

Sehingga relevan dengan itu, terminologi peta adalah informasi geospasial, berdasar aturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Peta dapat diklasifikasikan jadi 2 yakni, peta dasar dan peta tematik. Peta dasar merupakan peta yang  mendasari penyusun peta-peta lain, yang memiliki tujuan tertentu. Ini disebut sebagai peta tematik.

Peta kepadatan penduduk, peta curah hujan, peta rawan banjir merupakan bagian dari peta tematik.

Wewenang penyelenggaraan Peta Dasar dijalankan oleh BIG (Badan Informasi Geospasial), sesuai dengan Undang-Undang Informasi Geospasial, sebagai Peta Rupabumi Indonesia (RBI).

Dalam RBI ini terdapat unsur-unsur yang harus digambarkan: garis pantai, kontur dan batimetri (garis ketinggian dan kedalaman, hipsografi), perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi, sarana-prasarana maupun penutup lahan. 

Implisit, dari unsur-unsur pada peta, terlihat adanya berbagai kepentingan. Sehingga berbicara peta tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur politik.

Aspek Politik utama : Batas Wilayah

Aspek politik utama pada peta, adalah batas wilayah. Walaupun dalam RBI disebutkan peta bukan jadi rujukan resmi batas administrasi nasional dan internasional, namun pembaca peta sering menganggap, garis batas wilayah yang diterbitkan oleh BIG adalah batas ‘resmi’.

Dalam praktiknya, batas wilayah merupakan hasil kesepakatan pihak-pihak yang berbatasan. Ini kemudian dituangkan dalam dokumen kesepakatan batas tetap yang resmi, yang kemudian disebut sebagai garis batas wilayah definitif. 

Dalam proses mencapai batas wilayah definitif, tak jarang terjadi sengketa dan tindakan saling mengakui suatu wilayah, yang juga diakui negara lain.

Sengketa Laut Cina Selatan misalnya, terjadi ketika Cina menentukan sepihak, 9 garis putus-putus, yang sering disebut sebagai nine dash line, yang menabrak batas wilayah negara lain, di Asia Tenggara.

Sengketa terjadi ketika negara lain, juga punya dasar hukum atas wilayah yang diakui Cina. Yang terlibat dalam sengketa ini adalah Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.

Di tingkat  nasional, sengketa batas wilayah juga terjadi. Pemekaran wilayah provinsi, kabupaten atau kota yang terjadi seiring pemberlakuan UU Otonomi daerah pasca reformasi 1998, menghasilkan banyak PR yang tak mudah diselesaikan.

Meskipun di dalam undang-undang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota disebutkan bahwa batas wilayah otonomi yang baru ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, selambatnya 5 tahun sejak diresmikan, namun masih banyak batas wilayah yang belum ditetapkan.

Karenanya terjadi saling klaim batas wilayan terkait berbagai kepentingan. Berkaca pada berbagai sengketa yang terjadi, pemerintah kemudian menghentikan pemekaran daerah otonomi baru.

Di tingkat desa pun, sengketa batas wilayah tak jarang terjadi. Beberapa konflik horizontal antar sesama warga di wilayah yang bersengketa, sering terjadi.

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan Dan Penegasan Batas Desa, seharusnya konflik dapat dihindarkan, namun masih banyak desa yang belum memiliki garis batas definitif.

Ini kemudian perlu jadi pemahaman publik, bahwa di dalam penggambaran garis batas wilayah administrasi pada peta harus memperhatikan dasar aturan yang berlaku dan tingkat ketelitian peta atau disebut skala peta.

Setiap garis batas yang digambar memiliki konsekuensi yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan yang terpenting, terhindar dari konflik politis.

Politik pada Nama Rupabumi

Nama Rupabumi adalah nama yang diberikan pada unsur-unsur alam, yang jadi pembentuk permukaan bumi. Ini disebut rupabumi.

Termasuk dalam pengertian ini : gunung, sungai, danau, jalan, bangunan, hutan dan lainnya. Apakah nama rupabumi juga memiliki aspek politik?

Di tahun 2017 Kemenko Maritim melakukan pembaruan Peta NKRI, dengan mengubah nama laut di utara Pulau Natuna jadi Laut Natuna Utara. Tak ada negara yang keberatan dengan nama baru itu, kecuali Pemerintah Cina.

Cina punya kepentingan dan keuntungan jika wilayah laut dalam yurisdiksi Indonesia tersebut masih jadi bagian Laut Cina Selatan.

Dengan perubahan nama tersebut, keuntungan Cina jadi hilang. Hal yang serupa, juga jadi masalah antara Korea Selatan dan Jepang.

Penyebutan laut antara Kepulauan Jepang dengan daratan Asia di dalam peta dunia yang beredar di Indonesia, menjadi perhatian kedutaan besar kedua negara tersebut. Ada 2 nama yang dapat dijumpai, yaitu Laut Timur dan Laut Jepang.

Di Indonesia, penamaan rupabumi juga bukan perkara sederhana. Masih banyak pulau-pulau yang disengketakan dan punya penyebutannya masing-masing.

Contohnya, Pulau Kakabia yang disebut sebagai Selayar dan Kawikawia oleh Otoritas Buton Selatan. Ini merujuk pada satu pulau yang sama.

Masalah ini disengketakan hingga ke Mahkamah Konstitusi, karena Undang-Undang pembentukan Kabupaten Buton Selatan memasukan pulau tersebut ke dalam wilayah Buton Selatan, sedangkan Kabupaten Selayar menganggap pulau  itu masih jadi wilayahnya.

Dalam aturan penamaan rupabumi terdapat prinsip, menghindari penggunaan nama yang bertentangan dengan kepentingan nasional maupun daerah. Dengan terjadinya konflik berarti, nama yang disematkan merupakan implikasi adanya kepentingan tertentu.

Aspek Politik pada Unsur-unsur Alam

Bagaimana aspek politik pada unsur-unsur alam, seperti garis pantai, sungai, penutup lahan atau lainnya?

Alam bersifat dinamis. Perubahan unsur alam karena proses alami, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, maupun akibat aktivitas manusia, menyebabkan perubahan rupabumi.

Implikasinya, RBI tak dapat lepas dari perubahan sesuai dengan kenyataan itu. Adanya perbedaan antara kondisi obyektif dengan RBI dapat memicu sengketa.

Ini dapat terjadi, karena ada rentang waktu yang beda antara penyesuaian di PRI dengan kondisi obyektifnya di lapangan.

Contohnya yang terjadi pada garis pantai. Garis pantai adalah objek yang nyata perubahannya akibat abrasi dan sedimentasi.

Perubahan garis pantai di wilayah Semarang sebelah barat Bandara Ahmad Yani, yang berubah jadi perairan.

Ini mengakibatkan garis pantai masuk ke daratan. Masalah muncul ketika area yang berubah jadi perairan itu, memiliki sertifikat tanah.

Saat pemilik sertifikat melakukan pengurugan, sesuai data yang tertera di sertifikatnya, dianggap melakukan reklamasi. 

Peristiwa sebaliknya terjadi di wilayah daratan: danau-danau berubah wujud jadi daratan karena proses sedimentasi maupun aktifitas manusia.

Aktivitas itu menutup pintu masuk air ke danau, yang kemudian kering jadi semak belukar. Dan tak jarang, berubah jadi area permukiman.

Fenomena ini banyak terjadi di sekitar Jabodetabek. Muncul daratan-daratan baru yang tak tertera pada peta.

Karenanya, memproduksi peta suatu wilayah bukan perkara mudah. Terdapat aspek politik yang kental akibat adanya berbagai kepentingan.

Karenanya muncul tuntutan tanggung jawab dan akurasi yang melekat pada peta. Konsekuensi produksi peta, tak hanya berlaku pada masa kini, tetapi juga di masa datang, mencegah sengketa antar anak cucu.

 

**) Penulis merupakan Pranata Humas Muda Badan Informasi Geospasial

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait