URnews

Cari Cuan Instan

Firman Kurniawan S, Selasa, 24 Januari 2023 14.10 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Cari Cuan Instan
Image: Ilustrasi. (Pixabay)

APA yang diajarkan media digital? Mencari segalanya dan cepat memperolehnya. Sudah bukan cerita baru hari ini, keajaiban menemukan pengetahuan soal apa saja dan siapa saja, jadi perilaku luas. Adaptasinya melahirkan budaya mengandalkan mesin pencari, jadi sarana tanya.

Google memang bukan mesin pencari yang pertama di dunia. Namun layanannya yang selalu dikembangkan membalik situasi: ‘produk membutuhkan konsumen, jadi produk yang selalu dibutuhkan konsumen’. Bayangkan dunia 30 menit saja tanpa layanan Google. Sangat frustrasi.

Media digital juga mampu mengajari keterampilan. Mulai bermusik, berbahasa asing hingga merakit rangkaian rumit. Banyak lembaga kursus musik maupun bahasa asing, susut pendapatannya. Ini lantaran peserta yang dibidik, memilih latihan lewat Youtube.

Dengan ketekunan yang sedikit beda, keterampilan yang memuaskan diperoleh. Soal jadi terampil lainnya juga tak sulit diceritakan. Pelaku bom bunuh diri yang belajar merakit alat terornya, menggunakan media yang sama, Youtube.

Cerita ini pun serupa dengan pembunuh sebuah keluarga yang menggunakan Racun Sianida. Pengetahuannya dibangun dari kasus-kasus serupa, yang diberitakan media online. Media yang memungkinkan tampilan lengkap cara melakukan, beserta audio visual yang menunjukkan berlangsungya proses. Tahap demi tahap secara utuh.

Tak kalah daya tariknya, media digital juga jadi sarana memperoleh ketenaran. Banyak pesohor yang tak pernah dikenal 10 atau 5 tahun lalu, jadi sosok yang ramai dibicarakan. Mencapai itu, ada yang butuh waktu panjang, ada yang hanya butuh waktu ringkas. Variasi spektrum waktunya tergantung magnitude informasi dalam menggugah perhatian.

Jika media digital diperlakukan sekedar alternatif dari media konvensional, waktunya bisa panjang. Khalayak baru mengenalnya, setelah lama. Membangun dengan cara ini, harus bertahap dengan tema yang konsisten. Keistimewaan media digital cuma soal kelenturannya mengunggah informasi. ‘Kalau tak punya keistimewaan agar diundang TV, ya buat kanal Youtube. Kalau gagasan tak tembus di media konvensional, ya buat blog. Kalau tak ada radio yang mengundang jadi pembicara, ya buat podcast’.

Asal punya akun, bisa memproduksi dan mendistribusi unggahan sendiri.  Soal perhatian yang berhasil direbut, urusan lain. Ini sedikit berbeda dari media konvensional yang membangun ketenaran lewat seleksi.

Namun tak jarang urusan ketenaran dilakukannya dengan instan. Waktunya singkat, caranya ajaib. Ketenaran seseorang tiba-tiba hinggap di pikiran khalayak. Mengubah orang yang bukan siapa-siapa dan perilakunya juga tak istimewa, jadi luar biasa. Sulit dilakukan duplikasi, membangun ketenaran dengan cara serupa. Pesohor dengan jalan ini sering meninggalkan tanya: apa sebenarnya telah diberikan, sehingga perhatian khalayak tercurah padanya?

Soal media digital dan perhatian yang terbentuk, telah sering dibahas. Perhatian sebagai property kognitif manusia, persediaanya terbatas. Sebagaimana sumberdaya lain seperti uang, perhatian adalah sumberdaya yang tak bebas. Jika telah digunakan untuk satu hal, tak bisa untuk hal yang lain. Penggunaannya dikaitkan dengan alokasi waktu.

Begini ilustrasinya. Unggahan media digital, hadirnya tak berkesudahan. Jika ingin memperhatikan seluruhnya, dibutuhkan alokasi waktu sebanyak unggahan yang terdistribusi. Untuk media sosial saja, berdasar ‘We are Social’, Juli 2022, rata-rata penggunaannya di seluruh dunia sebesar 2 Jam 29 menit.

Sedangkan menurut ‘Domo Data Never Sleep 10.0’, yang terbit 2022, pada April 2022, internet telah menjangkau 63% populasi dunia. Jumlah ini setara dengan 5 miliar populasi manusia di dunia. Dari total pengguna internet itu, 4,65 miliarnya, setara 93%-nya, merupakan pengguna media sosial. 

Jika jumlah total data yang diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi secara global pada tahun 2022 adalah 97 zettabytes, tentu tak cukup waktu yang dimiliki masing-masing orang di dunia, untuk menghabiskan seluruh unggahan. Harus ada pengalokasian waktu yang tepat, agar perhatian yang diberikan menghasilkan manfaat. Manfaat bisa dalam arti apa saja: ekonomi, sosial, politik, atau budaya.

Saat pengguna media digital memberi perhatian pada atraksi mandi lumpur, tak mungkin bersamaan pula memperhatikan nyanyian ‘Reyhan Baik’. Di saat yang sama, juga serius mengikuti kabar persidangan Polisi Sambo. Perhatian yang telah diberikan pada satu obyek, sulit diberikan pada obyek informasi lain. Masing-masing obyek informasi membutuhkan pengerahan upaya kognitif yang sama.

Kemampuan memberi perhatian tak bisa dibagi dan berlangsung simultan. Multitasking itu mitos. Jikapun ada, jarang sekali. Bahkan mungkin sebatas informasi permukaan yang diperhatikan. Teknologi medianya memberi peluang, namun kemampuan kognitif melakukan ketiganya bersamaan tak mungkin. Kemampuan kognisi manusia tak dirancang untuk berbagi perhatian, pada banyak obyek di waktu bersamaan. Akibat keterbatasan ini, perhatian hanya bisa diberikan pada informasi yang terseleksi. Harus ada alokasi.

Penjelasan tentang perhatian sebagai sumberdaya yang harus dialokasikan, tercakup dalam konsep attention economic. Dalam tulisan yang disusun Ally Mintzer, 2020 dengan Judul ‘Paying Attention:  The Attention Economi’, disebutkan, peraih Nobel Ekonomi 1978, Herbert Alexander Simon merupakan pencetus pertama yang mengemukakan konsep attention economy ini.

Menurut Simon, ekonomi perhatian adalah relasi yang terbentuk di tengah berlimpahnya informasi. Ini merupakan konsekuensi perkembangan teknologi informasi yang tak juga jelas, kapan selesainya. Informasi yang yang semula bersifat langka, kini justru menyerap kelimpahan perhatian. Informasi berlimpah, berhadapan dengan perhatian yang terbatas. Memunculkan kelangkaan perhatian.

Cerita selanjutnya, persis seperti di atas. Untuk memberi perhatian, manusia harus menyeleksi informasi yang hendak dikonsumsi. Ini agar sumberdaya perhatian yang dimiliki, mendapat manfaat yang optimal. Seluruhnya sesuai prinsip ekonomi.

Kali ini menurut Michael H. Goldhaber, sebagaimana dikutip Lexie Kane, 2019. Dikemukakan tentang derasnya pergeseran kompetisi ekonomi, jaman digital ini. Dalam tulisan yang berjudul ‘The Attention Economy’ itu, Goldhaber mengemukakan ekonomi global sedang menggeser sumber kompetisi. Bergeser dari ekonomi yang berbasis pada material, ke ekonomi yang berbasis kapasitas perhatian manusia.

Namanya ekonomi perhatian, attention economy. Banyak layanan yang distribusikan secara online ditawarkan dengan gratis. Dalam ekonomi perhatian ini, perhatianlah yang jadi mata uangnya. Para pengguna layanan gratis, membayarnya dengan perhatian.       

Kembali pada pertanyaan di awal tulisan, apa yang diajarkan media digital? Ajaran paling populer terhadap perangkat peradaban ini: memanfaatkan media digital untuk meraup nilai ekonomi. Yang lain minim pembahasan. Banyak cerita penggunaan media digital yang mengantar orang jadi mandiri secara ekonomi. Bahkan kaya raya tak bertepi. Formula yang diterapkan, tentu memproduksi dan mendistribusi unggahan yang mampu meraup perhatian.

Jika formulanya seperti itu, lalu bagaimana dapat mengkonversi perhatian jadi nilai ekonomi? Ilmu ekonomi yang dipadukan dengan psikologi menunjukkan, perhatian manusia jatuh pada hal-hal yang mendatangkan rasa penasaran. Curiosity. Sesuatu yang mengundang rasa penasaran, jika diterjemahkan sebagai unggahan adalah unggahan yang berkualitas baik, juga yang berkualitas buruk.

Jika ini digambarkan pada sebuah garis lurus, unggahan yang ada di ujung paling kanan dan ujung paling kiri, mewakili yang terbaik dan yang terburuk. Sekaligus, keduanya jarang terjadi. Lantaran jarang terjadi itulah, mengundang rasa penasaran. Nilai ekonomi perhatian terdistribusi pada kedua titik ekstrim ini

Entah sudah belajar attention economy atau sekadar pakai intuisi, pengguna media digital yang ingin menangguk cuan secara instan, memproduksi dan mendistribusi unggahan yang buruk. Makin buruk makin membuat penasaran. Coba saja dihitung unggahan mandi lumpur atau atraksi memakan mie instan dicampur deterjen, atau adegan konyol menghadang truk yang sedang melaju kencang, atau menyiksa binatang yang hidup, hampir pasti traffic-nya lebih tinggi.

Ini jika dibanding unggahan beternak lele dengan media sekam atau belajar Matematika bersama Jerome Polin atau Pak Rhenald Kasali yang menerangkan soal resesi ekonomi.

Unggahan buruk selain lebih mudah diproduksi dan didistribusi, juga lebih deras memperoleh perhatian. Ini akhirnya jadi formula pintas meraup cuan dengan instan. Bahkan kreator mandi lumpur ketika diminta menghentikan unggahannya dengan kompensasi kerja tetap, menolak. Kecuali jika kompensasinya uang tunai Rp 200 juta. Luar biasa.  

Media digital memang telah memediasi banyak hal. Juga mediasi ajaran meraih nilai ekonomi dengan cepat. Lebih-lebih ketika sandaran etika dan tanggung jawab ditanggalkan. Tapi menjadikan jagat digital hanya soal nilai ekonomi, tak termasuk ajaran yang hendak dilanggengkan, kan? Masih banyak yang bisa dipelajari dari media digital.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait