URtrending

Netizen Adalah Hukumnya?

Firman Kurniawan S, Selasa, 31 Januari 2023 16.40 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Netizen Adalah Hukumnya?
Image: Ilustrasi netizen. (Freepik)

INI cerita lama. Tak banyak orang yang masih mengingatnya. Rubben Studdard berhasil mengalahkan Clay Aiken, pada kontes adu suara, American Idol 2003. Kontes bernyanyi idola penggemar yang dimenangkan Studdard itu, merupakan tahun kedua sejak pertama diselenggarakan, tahun 2002.

Selisih suara yang diperoleh Studdard sangat tipis. Hanya terpaut 140.000 dari 24 juta total suara yang mengajukan pilihan. Perolehan SMS tak berpihak pada Clay Aiken, sebagai pemilik suara yang secara obyektif lebih pantas disebut sebagai penyanyi.

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Kalimat terakhir di atas didasari kecenderungan pendapat para juri selama kontestasi berlangsung.  Juga dari banyak hal lain yang tersirat: tampilan panggung Clay Aiken lebih matang sebagai penyanyi, teknik tarik suaranya nyaris sempurna.

Seluruhnya tak mudah dibedakan dari penyanyi mahir yang sudah lama masuk panggung hiburan. Juga jenis suara yang dilantunkan. Suara yang mampu menghibur terlebih yang sedang gundah menanggung beban hidup. Lantunan nyanyian Aiken bakal menghadirkan ketenangan.

Dari banyak kriteria, Clay Aiken lebih unggul. Namun realitasnya berkata lain. Sistem penilaian penetapan pemenangnyalah yang menggagalkan obyektivitas Aiken sebagai penyanyi handal.

Kontes adu suara dengan tajuk Pop Idol yang digagas FrementleMedia ini, memang bertumpu pada penonton. Sesuai tajuk kontesnya, bertujuan mengukur kemampuan mengumpulkan idola. Makin banyak yang mengidolakan, makin berhak jadi pemenang.

Pemenang dengan ganjaran hadiah menggiurkan, juga kontrak pembuatan album maupun berkarir di dunia musik. Seluruhnya bukan pemilihan bakat bernyanyi. Juga bukan ajang menunjukkan teknik kemampuan bernyanyi. Hanya kemampuan mengumpulkan idola, yang terhibur lewat nyanyian.    

Dalam fenomena populer ala Pop Idol, kuantitas adalah kekuatan. Ini juga sering berlaku, saat hendak menyatakan kebenaran. Ada bentuk kebenaran yang bertumpu pada timbunan jumlah. Jumlahnya, membangun keutuhan.

Cara kerja untuk kebenaran macam ini: pendapat dengan nada sama dikumpulkan. Individu-individu menyumbang potongan-potongan kebenaran. Deskripsinya membentuk kumpulan. Kumpulannya hadir sebagai kebenaran utuh. Jika dalam keadaan tunggal, individu bisa salah. Namun sebagai kumpulan, jarang melakukan kesalahan secara bersamaan. Kumpulan bersifat, bisa saling saling mengoreksi.

Cara menyusun kebenaran seperti uraian di atas, sering disebut sebagai intersubyektivitas. Konon orang buta jadi tahu bentuk gajah, berdasar deskripsi parsial hasil sentuhan pada gajah oleh orang-orang dengan keterbatasan yang sama. Gajah itu lebar, ketika yang disentuh telinga gajah. Namun gajah itu panjang ketika yang disentuh belalainya. Bagi yang menyentuh perutnya, gajah itu bulat. Potongan-potongan itu, terbentuk jadi gajah utuh, hadir ketika seluruh deskripsi selesai dilakukan. Kumpulannya membentuk kebenaran tentang bentuk gajah.    

Namun tak semua kebenaran selalu bisa dinyatakan dengan cara yang sama. Terdapat kebenaran yang substansinya bukan bertumpu pada kumpulan. Melainkan pada realitas yang melekat pada obyek kebenaran itu sendiri. Namanya kebenaran obyektif. Dengan bertumpu pada intersubyektivitas, justru menghasilkan kesesatan. Fallacy. Kesesatan yang selanjutnya diterima jadi realitas salah kaprah.

Salah kaprah macam ini mudah dicarikan contohnya. Misalnya, peradaban yang hingga hari ini dengan ringan menyebut Ikan Paus. Nama yang diberikan pada jenis mamalia laut besar, yang bentuknya serupa ikan. Lantaran bentuknya ikan, tak serta merta menjadikan mamalia ini sebagai ikan.

‘Ikan Paus’ secara obyektif lebih tepat disebut sebagai ‘sapi laut’. Ini lantaran realitas yang melekat pada mamalia ini, sama sekali bukan ikan. Paus bernapas dengan paru-paru, melahirkan anaknya sebagaimana sapi. Kesamaaan dengan ikan selain bentuk tubuhnya, semata-mata sama bergerak di air dengan berenang. Substansi kebenaran yang melekat pada obyek, menolak kumpulan intersubyektivitas. Intersubyektivitas yang meleset, sejak dalam proses penyusunan kumpulan kebenarannya.

Hari ini, bentuk-bentuk pernyataan kebenaran yang salah kaprah, bisa dengan mudah ditemukan lewat penggunaan teknologi informasi. Kumpulan deskripsi parsial yang tak mempertimbangkan obyek pada dirinya sendiri, membentuk fakta. Sumbernya, pernyataan dalam bentuk unggahan Twitter, atau penilaian yang divisualisasikan lewat Tiktok, juga keterangan yang menyertai foto pada Instagram, maupun perbincangan para pesohor yang dikemukakan lewat Youtube. Hampir seluruhnya berbentuk intersubyektivitas, yang menggulung membentuk fakta. Namun bukan fakta itu sendiri.

Makanan enak yang dijajakan warung makan, kebenaran obyektifnya tak ditentukan jumlah testimoni netizen yang pernah menyantapnya. Timbunan kuantitas testimoni yang berhasil dikumpulkan, bukan enak itu sendiri.  

Rasa enak makanan bertumpu pada bahan yang dikandung, bahan lain yang menyertai, bumbu-bumbu yang digunakan, juga teknik mematangkannya. Sehingga dengan mengesampingkan selera, suasana, cara penyajian enaknya makanan ditentukan oleh makanan itu sendiri. Enaknya mutlak.  

Ilustrasi di atas lebih tak boleh dibantah dalam menentukan khasiat obat. Khasiat obat tak boleh bertumpu pada pengalaman intersubyektif orang yang pernah menggunakannya. Khasiat didasarkan pada ukuran obyektif, yang diuji lewat prosedur ketat.

Dimulai dari uji kandungan, yang secara teoritis mampu melawan penyakit. Kemudian diikuti uji penggunaan pada binatang. Ini untuk melihat kemampuan obyektif obat melawan penyakit. Yang didapatkan indikasi factual. Bukan pengakuan. Binatang tak bisa membuat pengakuan. Uji terakhir dilakukan pada calon penggunannya, manusia. Itupun bertahap, dari skala laboratorium hingga pengguna yang senyatanya. Jumlah yang terlibat, ditambah secara bertahap.  

Pada jenis kebenaran macam khasiat obat, kuantitas pengakuan dari banyak orang hampir tak bernilai obyektif. Kalaupun ada yang sembuh, walau belum lewat proses uji khasiat, bagian obat itu yang menyembuhkannya. Bukan hal yang lain. Salah massal di waktu yang hampir bersamaan memang jarang terjadi.

Namun urusan macam ini, bertumpu pada obyeknya. Bukan hal yang ada di luarnya. Demikian juga harusnya pada predikat-predikat yang melekat pada orang. Termasuk kejujuran, kecerdasan, keadilan, kesehatan hingga kemampuan memimpin. Tak diukur dari banyaknya individu, yang menyatakan hal sama. Walau tak sepenuhnya salah, namun bisa menyesatkan  

Kebenaran intersubyektif vs kebenaran obyektif, carut marut posisinya saat individu berhadapan dengan informasi yang berlimpah. Kelimpahan hasil kemajuan teknologi informasi tak memberi keleluasaan bagi individu menilai kebenaran. Tak ada sumberdaya untuk memeriksa obyektivitas, kecuali membentuk jejaring opini.

Opini yang bertumpu pada jejaring, hadir sebagai kebenaran yang dibela beramai-ramai. Ini lantaran prosesnya yang melibatkan sumbangan pendapat individu, dengan pendapat senada. Namun jika diperiksa seksama, hampir tanpa proses obyektif. Hanya kuantitasnya yang massif, hadir membentuk kebenaran.

Netizen merupakan agen sentral pembentuk jejaring opini. Perannya sebagai subyek pembentuk kebenaran. Hanya saja, kebenarannya lebih sering berciri intersubyektivitas, yang gagal menghadirkan obyektivitas. Keadaan inilah yang sering disebut sebagai post truth era.

Era manakala kebenaran tak lagi bertumpu pada fakta obyektif. Namun lebih pada jejaring opini yang bernada sama. Netizen anak kandung teknologi informasi, tanpa disadari juga korban kemajuannya. Yang seolah menanjak kuasanya jadi hakim kebenaran, namun sesungguhnya akibat ketakleluasaannya memeriksa obyektivitas. Lalu siapa netizen itu?

TechTarget, 2005, menyebut netizen sebagai warga negara yang menggunakan internet untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Netizen juga, pengguna internet yang berkontribusi pada penggunaan dan pertumbuhan perangkat ini. Sebagai media komunikasi yang penting, internet menawarkan perubahan sosial, juga menciptakan budaya baru dan masalah khususnya sendiri.  

Perilaku keseluruhan, setelah netizen diuraikan pengertiannya oleh TechTarget di atas, dimunculkan lewat media, ~baik konvensional maupun media sosial~. Media punya kecenderungan membangun opini, seraya memperoleh dukungan luas netizen. Ini kemudian berakhir sebagai viral atau trending topic. Jika sudah demikian, pernyataan netizen jadi kebenarannya.

Keadaannya hari ini, sesungguhnya tak terlalu beda dengan saat Rubben Studdard memenangi American Idol 2003. Individu-individu dilibatkan untuk menentukan kontestan idolanya. Yang terjadi hari ini, frekuensi keterlibatan itu menanjak ribuan kali lipat. Seluruhnya akibat difasilitasi perangkat teknologi informasi Netizen yang terhubung di seluruh dunia, melontarkan opininya membentuk jejaring opini. Bukan sebatas hal-hal yang bersifat menghibur ala pop idol.

Keterlibatan netizen juga pada hal fundamental bahkan menyangkut eksistensi manusia: perlunya vaksin, kebenaran kasus hukum, kelayakan seorang memimpin sebuah negara, hingga status bumi datar atau bulat. Netizen aktif terlibat, bahkan memberikan tekanan. Jika ditepis muncul aksi cancel culture. Lantaran kekuatan jejaringnya, hari ini netizen adalah penentu kebenaran. Netizen mewujud, jadi hukum itu sendiri.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait