URnews

Komodifikasi Flexing

Firman Kurniawan S, Kamis, 16 Maret 2023 14.09 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Komodifikasi Flexing
Image: Zodiak suka pamer hobi flexing (ilustrasi: Freepik/DRobotDean)

DALAM beberapa pekan terakhir, perbincangan di jagat media sosial tersita oleh satu perilaku yang tak elok. Perilaku lama yang kembali mengemuka ini, kerap disebut sebagai flexing. 

Flexing yang membuhulkan perhatian khalayak, terpicu peristiwa kekerasan antar GenZ disertai jatuhnya korban hingga koma. Seluruhnya membangkitkan emosi, hendak mengguak peristiwa, agar jadi tampak. 

Sentimen akibat Flexing yang didahului kekerasan ini, menciptakan efek domino. Menggelinding ke segala arah, tak jelas bakal berakhir di mana. Sesal khalayak, mendorong diunggahnya flexing Mario Dandy, MD. Pihak ini dianggap melakukan kekerasan berlebihan. 

Perilaku pamernya ditampilkan di media sosial. Diikuti respons atas unggahan, berputar pada tak masuk akalnya para pejabat negara bisa punya benda-benda yang d-flexing-kan. Bahkan jika penghasilan itu dicapai lewat posisi jabatan tertinggi. Unggahan Flexing MD, memancing gulungan publikasi sejenis: flexing pejabat di berbagai institusi negara, berikut keluarganya. 

Seluruhnya jadi warna kelam media sosial hari ini. Jejaring obrolan yang panjang, menguak berbagai realitas tak wajar. Tanpa ada tanda surut, bakal segera berakhir. 

Gelombang perhatian terhadap flexing, bukan pertama kalinya terjadi. Perhatian khalayak yang tak kalah besarnya, muncul saat beberapa anak muda memamerkan kepemilikannya di media sosial: mobil sport mewah, tumpukan uang tak terhingga, rumah bak benteng pertahanan, hingga pesawat pribadi. 

Seluruhnya diraih tanpa perlu kerja keras. Cukup mengandalkan suatu jenis investasi, yang di kemudian hari terkuak sebagai investasi pepesan kosong. Terungkapnya kecurangan dengan jumlah korban yang banyak, diikuti bergantinya penampilan pelaku flexing. 

Wajah yang semula glowing selalu terjamin perawatannya, berubah lesu tertunduk tak bersemangat. Tampilan yang diperburuk, dikenakannya pakaian khas tersangka pelanggar hukum.   

Flexing itu pamer. Pamer dalam pengertian sejenisnya adalah ‘menunjukkan’. Jika hanya menunjukkan, sepenuhnya bernilai netral. Aktivitas ini jadi punya pengertian yang bernilai negatif, tentu karena materialnya bermasalah.  

StrategyLab, 2018 dalam ‘What is ‘Flexing’? And Why You Shouldn’t’, memberi pengertian flexing sebagai tindakan yang dilakukan seseorang di hadapan umum. Tindakan ini membuat orang melihat pelakunya, dengan cara tertentu. Tersirat adanya tindakan menunjukkan sesuatu yang lazimnya beredar di ranah privat, jadi tampil di hadapan publik. Tujuannya, mendorong khalayak melihat dengan cara yang dikehendaki pelakunya.  

Lebih lanjut StrategyLab menguraikan, flexing dipraktikkan dengan menunjukkan pakaian, tubuh, gaya hidup, mobil, rumah, segala sesuatu yang melekat pada ego pelakunya. Tindakan ini semula bertendensi biologis, dilakukan berbagai mahluk biologis untuk menarik perhatian lawan jenisnya di musim kawin. Ketika menarik perhatian ini jadi pertunjukan berlebihan, justru menunjukkan adanya persepsi rendah harga diri, dari pelakunya. 

Di tengah realitas media sosial hari ini, seluruh uraian tentang flexing di atas termasuk melakukan sesuatu di hadapan umum lewat media sosial. Menjadikan diri beserta egonya, sebagai unggahan. 

Baca Juga: Matinya Dialog

Disa Gustiani, 2022, dalam ‘Flexing Culture’ menyebut populernya aktivitas ini, sangat terkait dengan makin intensifnya penggunaan media sosial. Ini mendorong para pemilik akun secara sengaja maupun tak sengaja, bersaing menciptakan daya tarik. 

Flexing dilakukan dengan menunjukkan sesuatu yang sedang dimakan, tempat yang dikunjungi, relasi pertemanan yang dijalani hingga brand aneka produk yang digunakan. Seluruhnya menciptakan budaya mempertunjukkan hal-hal yang biasa, jadi meminta perhatian khalayak. Inilah yang disebut flexing culture.  

Tendensi mempertunjukkan diri beserta egonya ini, sama sekali bukan gejala baru. Di awal tahun 2000-an, sebelum media sosial jadi realitas yang pekat, anak-anak kaya Beverly Hills seperti Paris Hilton dan Nicole Richie mempertunjukkan diri selalu menggunakan barang-barang branded, lanjut Gustiani. Para pesohor itu, bertaburan produk branded, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meskipun tak disebut namanya secara eksplisit.

Dalam termediatisasinya segala aktivitas, medium tak lagi jadi soal. Media apa pun tersedia mewadahi aktivitas manusia. Tersaji dalam berbagai bentuk: teks, gambar, suara, video maupun konvergensi di antara berbagai bentuk. 

Seluruhnya terserak berlimpah, mewadahi aktivitas berinformasi. Yang jadi soal justru menciptakan unggahan yang mampu bertempur, memperebutkan perhatian konsumen informasi. Karenanya berlaku, Content is the King, unggahan adalah rajanya. Unggahan berposisi sentral, di jagat media sosial.

Dalam sejarah perjalanannya, pengguna media sosial telah mengalami aneka pergeseran tema unggahan. Ada masanya, unggahan dengan warna rasa merasa pengalaman diri, mengemuka: rumah bocor, anak tak mau disuapi makan, jalan menuju kantor yang macet parah, antrian direbut orang tak kenal adab, hingga presentasi diri berhasil meraih cita-cita hidup. Media sosial adalah medium berbagi resah. 

Saat tiba masanya jenuh membicarakan diri, orientasi unggahan bergeser ke luar diri: membincangkan kuliner baru, obrolan keunikan lokasi destinasi wisata, tren fashion yang sedang jadi kesenangan, hingga perdebatan politisasi kelompok penghibur oleh partai politik. Orientasi kian ke luar dari diri, namun sejatinya tetap dilakukan oleh diri sendiri. Kadar egonya saja yang lebih terkemas rapi.   

Bagi pelaku setia relasi media sosial yang tak terjebak pada keharusan membangun kekaguman orang banyak, unggahan apa pun tak menyurutkan kebiasaannya memproduksi dan mendistribusi unggahan. Juga ketika unggahan tak memperoleh respons layak. Bagi pemilik akun di kategori ini, media sosial layaknya buku harian atau bingkai-bingkai foto di tembok rumah. Seluruhnya berfungsi jadi perangkat pembeku ingatan, yang diubah jadi tampilan yang mudah dilihat. 

Namun bagi pengguna yang mengharuskan munculnya perhatian pihak lain, tema unggahan jadi sumber kerisauan. Unggahan adalah dirinya. Identitas diwakilkan pada unggahannya. Tentu saja ini menuntut respon kagum yang harus dipanen dalam jumlah berlimpah. Jika tidak, kesedihan melanda.

Bagi pengguna dalam kategori kedua ini, aneka cara dan petuah selalu diikuti. Seluruhnya agar memukau khalayak. Dan lazimnya media konvensional, koran, majalah, tv, radio, tabloid, yang menampilkan informasi dengan kriteria punya news value, media sosial punya kriteria sejenis. 

Perangkat ini punya kriteria, unggahan yang punya ‘stopping power’. Unggahan yang mampu menghentikan, setidaknya mengalihkan keasyikan khalayak, dari suatu unggahan ke unggahan yang dibuatnya. Kekuatan yang menghasilkan respon yang membanjir: like, comment, retweet, regram, subscribe, dll.  

Bagi pemilik akun yang punya modal stopping power memadai, yang bersumber dari kekuatan diri: keterampilan yang dikuasai, prestasi yang diraih, pengakuan yang diberikan pihak lain, pengetahuan langka yang dikuasai, tak ada kesulitan memproduksi dan mendistribusikan unggahan yang memukau. Tapi apa yang bisa ditampilkan, oleh yang tak punya itu semua namun tetap ingin membangun decak kagum? 

Pelajaran dari the Economic of Attention yang digagas oleh Herbert A. Simon, seorang ahli psikologi perilaku, ahli ekonomi, yang juga peraih penghargaan nobel ini, mengajarkan: perhatian berpusat pada sesuatu yang langka terjadi. Ini karena perhatian manusia punya jangkauan yang terbatas. 

Perhatian adalah sumberdaya, yang persediaaanya terbatas. Karenanya, agar perhatian memberi manfaat yang optimal, harus dijatuhkan pada sesuatu yang menghasilkan kepuasan tertinggi. Mengalokasikan perhatian secara selektif, jadi kata kunci. 

Seluruh uraian Simon Ini, identik dengan prinsip ekonomi. Manusia dengan persediaan uang terbatas, punya keinginan belanja yang tak terbatas. Uangnya harus dibelanjakan dengan pertimbangan mampu memberi kepuasaan optimal.

Pada era digital, dengan jumlah informasi yang seakan diproduksi dan didistribusikan tanpa henti, perhatian manusia kian berharga. Perangkat perhatian manusia tak dirancang untuk bekerja secara simultan. Ketika perhatian telah diberikan pada satu hal, maka perhatian pada hal lain tak mungkin diberikan. Setidaknya jadi berkurang. 

Manusia bukanlah mahluk multitasking, itu yang dipercayai Simon. Maka jalan lazim yang dilakukan terhadap perhatian yang terbatas, dialokasikan pada sesuatu yang langka terjadi. Jika seluruhnya diterjemahkan sebagai unggahan media sosial, terwujud sebagai unggahan yang sangat berkualitas atau sebaliknya, sangat tak berkualitas. 

Pada diagram normal yang berbentuk lonceng tertelungkup, kedua kategori ini ada di ujung kiri dan kanan. Makin ke arah ujung, makin menarik perhatian. Dalam kaitan dengan flexing, manakala pengguna media sosial terobsesi memukau para pengikutnya, formula membangun unggahan dalam kriteria paling ujung kanan dan ujung kiri dapat memanen perhatian yang diharapkan. 

Bagi yang punya keunggulan, tak ada persoalan membangun unggahan berkualitas. Tapi bagi yang tak punya keunggulan, apa yang diandalkan? Terpaksa unggahan berkategori ujung kiri jadi formula: tak berkualitas namun mampu memanen perhatian. Jenis-jenis unggahan memamerkan kekayaan yang tak lazim dimiliki orang kebanyakan, jadi temanya. Kekayaan orang tua atau hasil menipu, jadi pilihannya. Yang penting panen perhatian. 

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Persoalannya, sampai kapan komodifikasi flexing akan terus dilakukan? Sampai flexing dibenci lagi, lantaran jatuhnya korban jenis lain?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait