URnews

Masyarakat Pemarah

Urbanasia, Rabu, 19 April 2023 17.00 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Masyarakat Pemarah
Image: Ilustrasi - Marah. (Freepik)

TAK butuh waktu lama, nama Yudo Andreawan menempati posisi trending topic di Twitter. Kamis 13 April nama ini sempat menduduki posisi pertama, bertahan hingga keesokan harinya. Meski tak lagi ada di urutan pertama, namanya masih bertahan di posisi yang kerap dibicarakan. 

Nama yang sama ini juga berulang kali diperbincangkan di Youtube, Instagram, Tiktok maupun media konvensional yang hadir online. Pembicaraan yang melambungkan namanya di seantero negeri ini, ada di seputar perangai berangnya. Sebut saja: mengamuk, beradu mulut, menyerang orang di area publik. Tak seluruhnya  jelas, apa yang dipersoalkan. 

Kemarahan terakhir, dan membuat aparat kepolisian mengamankannya, terjadi di kawasan belanja Tanah Abang. Itu pun terjadi berselang beberapa hari saja dari kejadian serupa sebelumnya, saat Yudo terlibat keributan dengan penumpang commuter line di Stasiun Manggarai. 

Kekerapannya meluapkan emosi di ruang publik, mendorong akun Twitter @akshafeb menyusun daftar yang berisi 17 keributan yang melibatkan Yudo. 

Beberapa di antaranya, marah di Lobby Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menabrak trotoar dengan mobil CRV di BSD, mengobrak-abrik klinik drg.Paras, nama ini dikaitkan dengan perilaku obsesifnya terhadap Sang Dokter Gigi, mengamuk di Stasiun Sudirman, meludahi wajah Satpam saat diamankan di Kawasan Perbelanjaan Tanah Abang. 

Lain pula dengan peristiwa keributan yang melibatkan Dokter Fladiniyah Paluhula dengan pengunjung RS bernama Maya Sylvia. Menurut cerita yang diungkapkan media berdasar saksi mata, pangkal keributan terjadi saat keduanya sedang ada di area parkir. 

Dokter Fladiniyah yang dalam proses penyelesaian parkirnya, menghalangi kendaraan Maya yang hendak keluar dari tempat yang sama. Keributan tak terelakkan, saat mobil yang dikemudikan suami Maya membunyikan klakson berulang-ulang. Bunyi klakson yang intensif ini, memicu kemarahan Sang Dokter. 

dr.Fladiniyah keluar dari mobil yang belum terparkir sempurna, merangsek membuka pintu mobil seterunya. Maya yang ada di dalamnya ditarik paksa. Ini mengakibatkan luka pada tubuhnya. 

Ketegangan keduanya kian memuncak, saat Maya merekam perilaku marah Fladiniyah dan mengancam mengunggahnya di media sosial. Kejadian ditutup dengan ditendangnya mobil Maya, oleh dokter marah itu. 

Meskipun peristiwa berakhir damai, namun didahului laporan atas luka-luka yang diderita Maya, kepada polisi. Cerita yang kemudian dibingkai sebagai kesalahpahaman ini, lagi-lagi berhasil menyerap perhatian warga media sosial, di seantero negeri. 

Terlebih diketahui, Dokter Fladiniyah sedang menjalani proses co-as, sebagai dokter di RSUD Pirngadi Medan. Darinya diharap, perilaku yang selalu sempurna.

Peristiwa kemarahan yang beredar di media sosial, dengan melibatkan berbagai kalangan bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya telah beredar pertikaian antar pengguna jalan tol. Ini sering dipicu adanya kendaraan yang dianggap menghalangi keleluasaan, pengguna jalan lain. Dan di jalan non tol pun, tak jauh berbeda peristiwanya. 

Point of view sebagai yang paling benar di jalan raya, jadi pemicu pertengkaran. Selain antar pengguna kendaraan, tempat parkir dan jalan  raya, peristiwa ketegangan lain juga kerap terjadi. Tak jarang jadi unggahan viral di media sosial. 

Kerapnya unggahan kemarahan beredar di media sosial, menarik perhatian. Kekerapan ini telah berhasil membangun anggapan: ‘begitulah’ isi media komunikasi baru ini. Tak lebih seputar kemarahan dan pertengkaran antar penggunanya. Baik yang terjadi di dalam media sosial itu sendiri, atau peristiwa dari luar yang diunggah ke media ini. Segala hal bisa jadi penyebab kemarahan. 

Dari realitas itu, selanjutnya muncul pertanyaannya, apakah netizen di media sosial ‘memang’ pemarah? Ini artinya, orang-orang yang memang berperangai gampang marah, berkumpul menggunakan media sosial, sebagai wadah ekspresi kecenderungan mentalnya. 

Atau, apakah netizen di media sosial ‘jadi’ pemarah? Yang ini berarti, media sosial yang justru jadi pemicu perilaku marah pada orang-orang yang semula tak berkeinginan untuk itu.  Dan berikutnya, apakah perilaku marah ini menjadi ciri yang melakat pada netizen Indonesia?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, Amy Fleming, 2020 dalam artikelnya yang berjudul, ‘Why Social Media Makes Us So Angry, and What You Can Do About It’, mendeskripsikan, media sosial merupakan artefak utama abad 21 yang jadi pemicu dan wadah perilaku marah masyarakatnya. 

Dengan mengutip laporan hasil riset, ‘Gallup Global Emotions Report’ yang disusun berdasar wawancara pada 151.000 orang di 140 negara, diperoleh pengakuan: responden memang merasa mengalami peningkatan kehendak marah saat berhubungan dengan media sosial. 

Jika dihitung rata-rata, kemarahan itu mengalami peningkatan global sebesar 22%. Jumlah ini merupakan setengah dari kemarahan yang dialami di daerah yang dilanda perang. Di Palestina kemarahan meningkat sebesar 43%. Sedangkan di Irak sebesar 44%. Penelitian Gallup ini, dilangsungkan sejak tahun 2016 dan dianalisis hasilnya, pada tahun 2020 sebagai laporan di atas.

Terhadap kemarahan yang dipicu oleh interaksi masyarakat dengan media sosial, Fleming mengutip penjelasan Dr. Aaron Balick. Menurutnya, dengan akses tanpa henti ke media sosial dan hadirnya peristiwa yang tak selamanya menyenangkan terus menerus, memposisikan pengguna media sosial dalam keadaan diserang tanpa henti. 

Diserang tiap kali menatap layar perangkatnya itu. Yang jika dianalogikan, keadaan ini tak ubahnya sebagai luka parah yang diderita seseorang. Luka yang dibiarkan tanpa penyembuhan, seluruhnya menimbulkan keadaan tak nyaman. Membuat penderitanya mudah terbakar amarah. 

Walaupun kemarahan merupakan mekanisme pertahanan diri sebagai respon atas provokasi, frustrasi, maupun ancaman, kemarahan merupakan bentuk agresif akibat kurangnya pengendalian diri yang rasional. Karenanya kebanyakan orang mencoba untuk menutupi kemarahannya. Alih-alih mengumbarnya di media sosial.  

Perlu dicatat, Dr Aaron Balick adalah ilmuwan yang memiliki minat khusus pada media sosial, dan menuliskannya sebagai sebuah buku berjudul ‘The Psychodynamics of Social Networking’.

Dari keseluruhan keadaan yang dipicu oleh media sosial, anonimitas merupakan faktor pendorong utama pembangkit perilaku marah. Ini juga menjadi penjelas, pada media sosial yang memfasilitasi tersembunyinya identitas pemilik akun yang lebih sempurna, perangai marah akan lebih tersalur. Anominitas memberi kesempatan pelakunya, lolos dari konsekuensi tindakan buruk.   

Nampak, media sosial merupakan sentral pemicu kemarahan, juga medium dalam mewujudkan kemarahan para penggunanya. Relasi di antaranya, membentuk sirkuit tak berkesudahan: unggahan media sosial memicu pengguna berniat marah dan kemarahan termediasi di media sosial. Sebuah sirkuit yang membentuk masyarakat pemarah.

Hal yang dikemukakan Amy Fleming di atas, identik dengan uraian Amy Azevedo, 2019. Pada artikelnya yang berjudul, ‘Information Overload: Why Social Media Makes Us Angry’ Azevedo mengemukakan ilustrasi detil, betapa media sosial menyesaki ruang-ruang informasi manusia di abad ini. 

Tak seluruhnya relevan dan penting bagi penerimanya. Bahkan beberapa di antaranya memicu rasa frustrasi. Unggahan media sosial jadi sumber penjangkitan aneka gangguan mental, seperti sindrom terowongan, deraan demonstrasi kehidupan palsu, manipulasi, kesepian, namun juga membangkitkan rasa kecanduan.

Jika uraian Fleming dan Azevedo dikaitkan, maka sirkuit kemarahan tanpa titik pemutus ini, dapat diibaratkan sebagai sebuah ruang terbatas yang terus diisi. Keadaan ruangnya kian lama kian padat, membuat penghuninya tak merasa nyaman. 

Toleransi jadi korbannya, terindikasi sebagai kemarahan mudah tersulut.  Namun yang justru terjadi, pada ruang yang telah penuh sesak ini penambahan tak berhenti. Kapasitas maksimal terus didekati. Maka tak heran jika ledakan bakal jadi keniscayaan. Ledakan oleh informasi yang berlimpah, justru memicu kemarahan. 

Ledakan akibat banjirnya informasi ini, sesuai uraian Jean Baudrillard pada bukunya, ‘Simulation and Simulacra’, yang terbit tahun 1981. Baudrillard menguraikan hal yang disebutnya implosi. Sebuah peristiwa ledakan akibat jenuhnya informasi. Tak sebagaimana lazimnya ledakan yang energinya tumpah ke luar, pada implosi justru energi ledakan menghambur ke dalam. 

Mengenai produsen informasi sendiri. Ledakan informasi ini justru menyadarkan produsennya, hidup yang ditempuhnya sama sekali tak ideal. Dan ini justru membuatnya marah. Karenanya, pada masyarakat yang kian menjadikan rasa marah sebagai mekanisme pertahanan diri, tak ada jalan lain: sirkuit kemarahan harus segera diputus. 

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Memang dalam realitasnya, media sosial jadi wadah penyalur kemarahan. Namun kemarahan itu justru dipicu wadahnya, media sosial itu sendiri. Sebuah lingkaran setan yang tak berkesudahan. Kecuali diakhiri dengan waras oleh penggunanya, media sosial hari ini tak ubahnya pabrik yang memunculkan pemberang-pemberang baru. Semuanya tertekan oleh penggunannya, yang tanpa takaran. 

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait