URnews

Matinya Dialog

Firman Kurniawan S, Selasa, 7 Maret 2023 11.12 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Matinya Dialog
Image: Ilustrasi. (Freepik)

BANYAK peristiwa viral dan trending di jagat digital. Setidaknya jika itu dicermati sebagai catatan 6 bulan terakhir. Berpijak sebagai produk 2 dimensi, tentu ada peristiwa yang menghasilkan optimisme. Namun tak jarang, justru melahirkan pesimisme. 

Lewat pemanfaatan teknologi terkini, ekonomi digital Indonesia tumbuh pesat dan terbesar di Kawasan Asia tenggara, tentu merupakan hal yang membangkitkan optimisme.  

Lewat tulisan Ridhwan Mustajab, 2022, berjudul ‘Ekonomi Digital Indonesia Terbesar di Asia Tenggara pada 2022’, yang dimuat DataIndonesia.Id, diilaporkan posisi ekonomi digital Indonesia. Disebut paling unggul, dibanding negara-negara tetangganya. Nilainya diperkirakan mencapai US$77 miliar, ini setara dengan Rp1.198,3 triliun, pada tahun tersebut. 

Melanjutkan laporan yang merujuk Google, Temasek, dan Bain & Company dikemukakan, nilai penjualan bruto atau gross merchandise value (GMV) ekonomi digital di Asia Tenggara sebesar US$194 miliar. Jumlah ini mengalami kenaikan 20%, dibanding tahun sebelumnya, yang senilai US$161 miliar. 

Dari angka itu, Indonesia menikmati pertumbuhan mencapai 22%. Namun jika dibanding pertumbuhan dari tahun 2019 ke 2021 yang mencapai 25%, angka pertumbuhan Indonesia ini, terbilang melambat. 

Berita baik di atas, relevan dengan dengan pernyataan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, 2022. Lewat rilis resmi Kementeriannya yang menyebut ekonomi digital Indonesia sangat kuat dan terbesar di antara negara tetangga, Asia Tenggara.

Namun urusannya bukan soal ekonomi belaka. Optimisme yang terbawa oleh pertumbuhan ekonomi digital, akibat hal yang tak dapat ditampik realitasnya. Kinerja teknologi membentuk ekosistem baru, terbukti membawa harapan. 

Mengutip Charlene Li dan Josh Bernoff, 2008 dalam ‘Groundswell;, interaksi manusia dengan teknologi dapat menghadirkan keadaan ekonomi baru. Ini yang dilaporkan sebagai  keadaan di atas.   

Hanya saja ketika mencermati lebih seksama, tanpa perlu terjebak pada kategorisasi manfaat ekonomi vs non ekonomi, pencapaian oleh kehadiran teknologi tak selamanya menggembirakan. Pada kehidupan sosial, politik, budaya, tempat berlangsungnya interaksi nyata orang banyak, berceceran peristiwa yang justru menghadirkan pesisme.

Mudahnya orang bertikai, saling serang, akibat hoaks, sudah lama jadi keprihatinan. Juga segregasi sosial akibat ujaran kebencian yang terbawa oleh fanatisme dukungan politik, jadi konsumsi sehari-hari pengguna media sosial. Namun belum tuntas juga persoalan lama itu, hadir unggahan-unggahan tak bermutu lainnya.

Unggahan-unggahan yang mempertontonkan arogansi sekelompok orang yang punya kuasa mendadak dengan memanfaatkan jejaring sosial, seperti fans kelompok penghibur, komunitas profesi yang mempersepsi dirinya tertindas, sekelompok orang yang merasa punya kuasa akibat kekayaaan dan jabatannya, juga kelompok yang merasa mayoritas berdasarkan indikator-indikator primordial: suku, ras agama, menindas kelompok lainnya, jadi warna yang kian pekat di jagat digital. 

Demikian pula dengan unggahan-unggahan yang menjual kemiskinan, mengeksploitasi belas kasihan, memanfaatkan kelompok lansia, penyandang difabel, anak-anak yang belum mampu membuat keputusan, untuk menangguk penghasilan tak risih dipertontonkan. Ada profesi yang menekuni peluang ini, seraya menghasilkan tontonan prima demi keuntungan ekonomi.

Lembaga negara yang berwenang, sepeti Kementerian Informasi dan Komunikasi, Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan, Kementerian Sosial, juga orang-orang berpengetahuan, menyebut keadaan di atas, sebagai rendahnya literasi digital masyarakat. Memang dalam realitasnya, literasi digital Indonesia tergolong sedang, menuju baik. 

Bahkan survey yang diselenggarakan Microsoft dengan judul, ‘Digital Civilization Index’ tahun 2021 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan keberadaban digital yang paling rendah. Ini ketika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Keadaan yang berbanding terbalik dari pencapaiannya di bidang ekonomi.      

Hal lain yang dapat ditawarkan sebagai penjelasan atas fenomena-fenomena yang melahirkan pesimisme di atas, terjadi akibat matinya dialog. Karakteristik dasar perangkat teknologi yang biner 1-0-1-0: benar-salah, cinta-benci, kami-mereka, indah-buruk, tak ada jalan tengah mempertemukan keduanya. Seluruhnya terpisah dengan tegas, tanpa dialog. 

Matinya dialog pada berbagai platform digital, disebut meniadakan karakter utama dari teknologi ini. Para pengguna punya kesempatan menginteraksikan berbagai pendapat, dengan aneka sudut pandang. Dan memperoleh titik temu atas perbedaannya. 

Ini sesuai dengan pandangan Carolyne Mande Lunga, 2020, dalam artikelnya yang berjudul ‘Social Media: A Space for Dialogue or a Tool for Warfare? Accord, January 2020’. Penulis ini menyatakan, umumnya media sosial menyediakan ruang bagi berlangsungnya komunikasi yang bebas, murah mampu mewadahi aneka sudut pandang. Juga yang berbeda tajam. Karenanya media sosial dapat digunakan untuk mengajak perdamaian maupun toleransi.

Namun demikian terdapat keadaan sebaliknya, berupa meningkatknya konflik di masyarakat. Ini akibat beredarnya berita palsu, ujaran kebencian maupun tindakan isolasi pada sekelompok masyarakat tertentu. Seluruhnya menggambarkan absennya dialog. Tak terhindarkan ketika merembes ke dunia nyata, akan jadi konflik terbuka yang memakan korban jiwa. Ekor segregasi yang terbawa fanatisme pendukung calon gubernur pada Pemilihan Gubernur DKI, 2017, masih terasa hingga hari ini.

Berdasar perhatian terbatas penulis, setidaknya ada 5 hipotesa yang mendorong matinya dialog di jagat digital. Pertama, peradaban yang kian terdesak oleh perkembangan teknologi. Keadaan ini bak pisau bermata dua. Teknologi hadir sebagai harapan baru, menjanjikan hidup sempurna, kecepatan pencapaian, biaya penyelenggaraan yang rendah, dengan hasil yang tetap berkualitas. 

Namun seluruhnya menyerap manusia, bergantung akut pada teknologi. Manusia seakan melepas tubuh manusiawinya, rela digantikan mesin. Implikasinya, realitas palsu pun mudah diproduksi perangkat teknologi. Pijakan dialog mati jatuh sebagai ketakpastian.

Kedua, peradaban yang bias gender. Telah lama dunia ini ada di dalam genggaman laki-laki: kehendak laki-laki, kuasa laki-laki. Relasi perempuan dengan laki-laki tak pernah setara. Pada tingkat pikiran, budaya, pendidikan, ada struktur yang menghalangi kesetaraan. Perempuan dimitoskan punya mental dan emosional yang berlebihan. Sayangnya perempuan terbawa, turut menyalahkan dirinya. Menerima dianggap tak mampu rasional. 

Padahal rasional adalah kualitas yang dibutuhkan untuk mengatur dunia. Karenanya perempuan hanya sesuai mengurus hal yang terbatas. Sebatas ruang domestik di rumah tangga. Sedangkan laki-laki adalah penghuni ranah publik dengan segala tantangannya. Sebuah pengklasifikasian ruang yang mematikan peran alamiah perempuan. Juga dialog yang berniat memperjuangkannya.

Ketiga, peradaban yang mengalami pendangkalan rasionalitas. Seluruhnya terbawa oleh derasnya produksi dan distribusi informasi. Bertumpuknya informasi yang harus dikonsumsi secara seksama, dipintasi secara dangkal: berguna-tak berguna, kawan-lawan, baik-buruk. Sesuai pola biner di atas. Tanpa mempedulikan konteks, keputusan harus dijatuhkan dengan cepat, berdasar kata kunci yang melekat. Juga jumlah orang yang terpikat. 

Pada pertengkaran di jalan raya yang melibatkan motor dengan mobil, tanpa peduli ruang dan waktu peristiwa, hampir pasti mobil yang salah, motor yang dibela. Demikian pula dengan pelecehan di suatu lembaga pendidikan. sekolah, pesantren, kampus, pasti yang dituduh sebagai asal peristiwa: guru, pengasuh, dosen. 

Pihak yang dianggap lazim punya kuasa. Bahwa dalam realitasnya kuasa bisa muncul dari pihak yang selama ini dianggap korban, tak pernah ditelaah kemungkinannya. Dialog mati. Cukup bertumpu pada kelaziman-kelaziman yang biasa terjadi. Penilaian dijatuhkan. Sayangnya, keadaan sebenarnya jadi tak terungkap 

Keempat, peradaban yang kian berdimensi tunggal. Menilai guna, sebatas nilai ekonomi. Juga mengevaluasi kebijakan dari kuantitas yang menikmati utilitas. Peran ekosistem yang multidimensional, jarang disinggung. 

Keadaan tak dianggap bermasalah, jika komponennya terpenuhi. Tak peduli komponen lainnya justru berantakan Dialog mati, dikunci dengan angka-angka besar pencapaian. Bukan angka-angka besar jatuhnya korban. Juga banyaknya penikmat. Bukan tersingkirnya perbedaan yang tak dapat masuk ke arena.

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Sepesimis itukah jagat digital kita? Tidak. Hipotesa kelima, peradaban ini masih punya harapan. Seluruh keadaan yang nampak memburuk, dapat dicegah. Ini ketika manusia sadar autentisitas manusiawinya: manusia tak perlu jadi mesin dan berharap segala hal dapat diselesaikan mesin. 

Menyadari aspek manusiawi berarti juga menerima multidimensionalitas kehendak manusia. Karenanya dialog harus dibuka kembali. Manusia meraih autentisitas dirinya, ketika tak hanya terjebak pada kriteria dan indikator. Seluruhnya dapat diraih lewat dialog. Jadi, masih relevankah dialog  dijadikan harapan?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait