URnews

Survei SMRC: Mayoritas Warga Anggap Berat Biaya Belajar Online

Nunung Nasikhah, Selasa, 18 Agustus 2020 20.00 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Survei SMRC: Mayoritas Warga Anggap Berat Biaya Belajar Online
Image: Ilustrasi belajar online. (Media Center Palangkaraya)

Jakarta - Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC) belum lama ini melakukan sebuah survei tentang pembiayaan biaya sekolah dan kuliah yang dilakukan secara daring atau online.

Survei tersebut dilakukan dengan mewawancarai warga yang mempunyai anggota keluarga yang masih sekolah atau kuliah pada 5-8 Agustus 2020 dengan melibatkan 2201 responden yang dipilih secara acak. Margin of error survei ini diperkirakan +/-2.1%.

Hasilnya, sekitar 67% merasa sangat/cukup berat membiayai sekolah atau kuliah online. Lalu sekitar 26% menyatakan sedikit berat dan hanya 6% yang menganggap tidak berat.

Temuan tersebut disampaikan oleh Manajer Kebijakan Publik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Tati Wardi, Ph.D, saat mempresentasikan hasil survei nasional SMRC pada Selasa (18/8/2020) di Jakarta.

Menurut Tati, temuan ini penting diperhatikan pemerintah karena kondisi ini berpotensi mengganggu pencapaian yang diharapkan pemerintah melalui penerapan kegiatan pembelajaran jarak jauh.

“Pembelajaran secara daring ini tentu harus diterapkan pemerintah. Namun pemerintah perlu memperhatikan secara serius beban yang dihadapi masyarakat, terutama bila kebijakan ini masih akan terus dilanjutkan,” ungkap Tati.

Tati mengatakan, salah satu faktor yang berpengaruh dalam anggapan ini adalah akses internet. Survei ini menunjukkan masih cukup banyak warga yang tidak memiliki akses internet.

Dalam survei ini ditemukan bahwa hanya sekitar 76% persen warga yang memiliki akses internet dan yang tidak memiliki akses internet sekitar 24%.

Di samping itu, survei SMRC ini juga menunjukkan bahwa di antara warga yang mempunyai anggota keluarga sekolah/kuliah online, sekitar 47% mengeluarkan biaya internet lebih dari Rp 100 ribu per bulan untuk belajar/kuliah online. Lalu sekitar 52% mengeluarkan biaya internet maksimal Rp 100 ribu per bulan.

Survei yang dilakukan oleh SMRC ini juga menunjukkan bahwa mayoritas warga yakni sekitar 70%, mempunyai setidaknya satu anggota keluarga yang masih sekolah atau kuliah.

Dari 70% warga tersebut, sekitar 87% menyatakan bahwa sekolah atau kuliah online (belajar jarak jauh) dilakukan oleh semua atau sebagian dari anggota keluarga yang masih sekolah atau kuliah.

Tati mengatakan, warga yang di dalam keluarganya terdapat anggota keluarga yang masih sekolah atau kuliah dan warga yang menyatakan masih sekolah/kuliah inilah yang terkena beban dari belajar online.

Selain itu, Tati mengatakan, anggapan bahwa biaya pendidikan online sangat/cukup berat ini memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan dan pendapatan.

Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin rendah kecenderungannya untuk menyatakan sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

Menurutnya, terdapat sekitar 72%-73% warga yang berpendidikan SD dan SMP yang menganggap biaya pendidikan online sangat/cukup berat. Namun hanya 63% warga berpendidikan SMA dan 57% warga berpendidikan PT yang beranggapan demikian.

Sementara jika dilihat dari pendapatan, semakin tinggi pendapatan seseorang semakin rendah kecenderungannya untuk menyatakan sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

Ada sekitar 80% warga berpendapatan maksimal Rp 1 juta/bulan yang menyatakan sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

Sementara 73% warga berpendapatan antara Rp 1-2 juta/bulan, 62% warga berpendapatan Rp 2-4 juta, dan hanya 50% warga berpendapatan lebih dari R 4 juta/bulan yang  beranggapan bahwa pendidikan online cukup memberatkan.

“Jadi terlihat sekali bahwa pendidikan jarak jauh ini membawa dampak serius terutama pada kalangan status sosial ekonomi lebih rendah,” kata Tati.

Tati juga mengatakan bahwa dalam survey ini ditemukan kecenderungan dampak berdasarkan latar belakang kelas sosial ekonomi dalam hal pekerjaan.

Hanya sekitar 49% pedagang besar/wiraswasta dan 55% pegawai/guru/dosen/profesional yang menganggap sangat/cukup berat membiaya pendidikan online.

Di sisi lain, 67% petani/peternak/nelayan, 75% buruh/pembantu/satpam/supir, 72% pedagang warung/kaki lima, 74% pengangguran, dan 71% ibu rumah tangga yang menganggap sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

“Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan belajar jarak jauh masih jauh dari ideal,” ujar Tati.

“Namun menyadari pandemi Covid-19 datang secara cepat dan tak terduga, rasanya tidak adil juga untuk menyalahkan pemerintah karena tidak mengantisipasi masalah-masalah terkait belajar daring ini,” lanjutnya.

Meski demikian, Tati menambahkan, temuan ini menunjukkan adanya masalah krusial tentang hak pendidikan warga dan kaitannya dengan status sosial ekonomi.

“Mereka yang berpendapatan lebih besar memang tidak menganggap biaya sekolah online ini sebagai beban berat. Namun hal sebaliknya berlaku di kalangan mereka yang berpendidikan lebih kecil. Pemerintah perlu merespons adanya kesenjangan ini,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait