Mengenal Penyakit Lupus dan Tantangan Pasien Hadapi COVID-19
Jakarta - Tantangan yang dihadapi oleh pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) begitu tinggi, terutama saat kondisi pandemi COVID-19. Hal itu membuat pasien lupus harus mengambil tindakan pencegahan dengan ekstra.
“Agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik, penting bagi pasien LES untuk disiplin dengan perawatan yang dijalani,” ujar Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi, Cesarius Singgih Wahono, dalam kegiatan media briefing, Selasa (14/12/2021).
FYI, penyakit autoimun ditandai dengan peradangan sistemik, di mana sistem kekebalan yang tidak teratur menyebabkan kerusakan atau disfungsi organ target. Sedangkan, Lupus Eritematosus Sistemik (LES) sendiri merupakan salah satu kondisi gangguan autoimun kompleks yang menyerang berbagai sistem tubuh.
Meski demikian, setiap pasien LES memiliki gejala yang berbeda-beda. LES memiliki manifestasi klinis, kelainan imunologi, perjalanan penyakit, serta akibat penyakit yang beragam. Manifestasi klinis pada kulit, ginjal, dan sistem organ lainnya tidak selalu muncul bersamaan, melainkan dapat berkembang seiring dengan perjalanan penyakit.
Selain itu, penyakit lupus juga sulit didiagnosa karena memiliki banyak gejala yang sering disalah artikan sebagai penyakit lain. Penegakan diagnosis LES merupakan sebuah tantangan tersendiri karena keragaman manifestasi klinisnya.
Kemudian, diagnosis LES dapat dipastikan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta memerlukan kajian secara mendalam oleh dokter spesialis.
Setelah diagnosis ditetapkan pasien memerlukan penilaian terhadap aktivitas penyakit dan keterlibatan organ untuk menentukan rencana terapi yang tepat.
“LES memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Dibandingkan dengan populasi sehat, penyakit ini menjadi sebuah penghalang dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena gejalanya yang muncul secara signifikan atau kambuh secara tiba-tiba dengan didominasi gejala seperti kelelahan, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik, dan rasa nyeri,” ucap dokter Singgih.
Tidak hanya itu, rupanya LES ini memiliki dampak negatif bagi karier pasien dikarenakan harus mengubah profesinya karena penyakit tersebut.
“Tidak hanya itu, LES juga memiliki dampak negatif pada karier pasien, bahkan hingga 39 persen pasien LES melaporkan bahwa mereka harus berganti pekerjaan karena penyakit tersebut,” lanjutnya.
Lalu, mereka juga harus melakukan pengobatan agar dapat menjalani hidup normal dengan perawatan jangka panjang.
“Tentunya, dengan pemantauan pengobatan yang ketat, 80-90 persen pasien lupus dapat menjalani hidup normal. Perawatan penyakit lupus yang bersifat jangka panjang, bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, menginduksi remisi dan mencegah kerusakan organ permanen,” kata Singgih.
Sementara itu, ia juga mengatakan standar perawatan lupus ini harus menggunakan non-farmakologi dan pengobatan antimalaria, steroid, serta imunosupresan/penekan sistem imun. Bahkan, penting juga diberikan dukungan dari keluarga, sahabat, dan komunitas yang memiliki peran penting.
“Pengobatan standar dari perawatan lupus adalah menggunakan non-farmakologi (edukasi, menghindari panas matahari, manajemen stress) dan pengobatan (antimalaria, steroid, dan imunosupresan/penekan sistem imun). Pada pasien lupus sedang hingga berat yang sudah melibatkan organ lain seperti ginjal, penggunaan imunosupresan digunakan bersamaan dengan obat steroid, untuk meminimalisir efek samping jangka panjang steroid yang mungkin ditimbulkan, seperti penumpukan lemak di pipi (moon face), aterosklerosis, dan lain sebagainya. Dukungan keluarga, sahabat, dan komunitas juga memegang peranan penting,” imbuhnya.
Bukan hanya itu, pasien LES yang dirawat di rumah sakit karena sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) disebabkan oleh COVID-19 memiliki risiko mortalitas lebih tinggi dan kondisi yang buruk secara signifikan, dibandingkan dengan individu yang sehat tanpa penyakit bawaan lainnya.
“Pandemi COVID-19 ini kemungkinan akan dapat menyebabkan munculnya penyakit autoimun, termasuk penyakit autoimmune inflammatory rheumatic, seperti lupus, artritis reumatoid. Gejala penyakit AIIRD dapat muncul sewaktu-waktu, bagi pasien yang sedang dalam perawatan, membutuhkan lebih banyak biaya pengobatan hingga pasien menghadapi kendala keuangan,” ucap Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi, Harry Isbagio.
Lalu, menurut dokter Harry, vaksinasi COVID-19 menjadi hal penting bagi pasien AIIRD dan vaksinasi yang diberikan pun atas dasar persetujuan dari dokter yang merawatnya.
“Imunogenesitas (respon tubuh terhadap vaksin) pada jenis vaksin SARS-COV2 yang inaktif, mRNA, dan viral vector lebih rendah pada pasien AIIRD dibanding pada populasi umum. Sedangkan untuk tingkat keamanan vaksin tersebut sama saja," lanjut dia.
"Perbedaan imunogenesitas ini dapat dikarenakan karena penggunaan obat imunosupressif pada pasien AIIRD. Mengingat, pasien AIIRD memiliki risiko yang lebih tinggi terkena infeksi COVID-19 dan lebih berat hal ini membuat vaksinasi COVID-19 menjadi bagian penting dari perawatan, dan vaksinasi dapat diberikan atas persetujuan dari dokter yang merawat,” pungkasnya.