URtech

Era Media Digital, Era Matinya Konteks

Firman Kurniawan S, Kamis, 4 Mei 2023 17.04 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Era Media Digital, Era Matinya Konteks
Image: Ilustrasi - Media sosial. (Freepik)

AMARAH sebuah caci maki, tak tersemat pada unsur katanya. Segala nama binatang, kotoran, sisa benda, yang biasa disemburkan jadi sumpah serapah: anjing, sampah, bangkai, punya makna ramah tanpa amarah, saat dituturkan seturut bacaannya. Ini yang sering disebut sebagai makna denotatif. 

Makna yang sesuai dengan pengertian pada kamus. Akan halnya kata yang dilontarkan lemah lembut, biasa mengiringi ungkapan kasih sayang, namun saat nadanya ditinggikan, pengucapannya pendek jadi umpatan, akan dihasilkan amarah dalam maknanya. Amarah sebagai makna konotatif, melekat pada konteks yang menyertainya. 

Filsuf kontemporer Perancis kelahiran Aljazair, Jackie Élie Derrida, yang selama ini lebih tersohor dikenal sebagai Jacques Derrida, dalam konsep yang mendunia, ‘Dekonstruksi’, mengungkap kurang lebih: makna sebuah teks saat diulang-ulang penggunaannya, tak abadi tersemat dalamnya. 

Maknanya tersembunyi, karenanya harus ditemukan. Makna ini punya sifat tak stabil, terus berkembang mengikuti konteks yang menyertainya. 

Yohanes Florianus Tana, 2019, dalam artikelnya yang berjudul, ‘Memahami Teori Dekonstruksi Jacques Derrida sebagai Hermeneutika Radikal’, melanjutkan uraian di atas. Disebutkannya, menurut Derrida makna teks yang benar tak selalu yang hadir lebih dulu. Sedangkan yang mengikuti, hanya sebagai tambahan makna. Sebab jika demikian, kebenaran sebuah makna bersifat tunggal dan mutlak. 

Yang benar, makna pada teks tak dihadirkan sekedar kembali pada makna aslinya. Juga yang didapat dengan cara penafsiran yang berjarak. Tak mungkin dengan memahami seluruh teks, makna hadir dengan sendirinya. Karenanya, makna teks tidak perlu dipertahankan dari yang sudah ada, dan diabadikan. Makna baru dapat dihadirkan, seraya menyertakan kebenaran-kebenaran yang telah ada. Itupun kemudian, tak boleh diikat sebagai kebenaran absolut. 

Seluruh uraian itulah yang disebut sebagai dekonstruksi. Menghadirkan sesuatu yang baru dengan tanpa meninggalkan unsur lama yang telah dimilikinya. Sehingga kebenaran tak tunggal, absolut, terlebih universal. Pada makna selalu ada sesuatu yang tidak terpikirkan, bahkan oleh produsen teksnya. 

Terdapat kesempatan untuk menemukan kebenaran baru dari unsur yang lama. Yohanes Florianus Tana kemudian menutup tafsirnya atas Derrida, dengan: dekonstruksi sebagai kerja penafsiran radikal, ditandai oleh pergantian perpektif terus-menerus. Sehingga makna ‘tak dapat diputuskan’. 

Penyataan di atas jika dikemukakan dengan cara yang berbeda, adanya konteks menghindarkan ketunggalan sekaligus keabadian makna. Makna dibentuk oleh konteks, bukan teks yang nampak jelas terpampang. Ini kemudian relevan saat membicarakan realitas hari ini. 

Realitas yang hampir seluruhnya hadir sebagai teks yang termediasi oleh teknologi digital. Seluruhnya tak lepas dari dekonstruksi. Dekonstruksi lalu jadi kealamiahaan teks, dalam kehadirannya yang luas: gambar, suara, narasi bergerak. Seluruhnya terhindar dari keabadian dan ketunggalan makna.   

Namun yang terjadi, ketunggalan yang bersumber dari kehendak mengabadikan makna justru menonjol. Kehadirannya jadi paradoks hari ini. Di tengah intensifnya penggunaan media digital, saat informasi sedang membanjir, juga terdapat pilihan aneka medium yang siap mewadahinya, penggiringan pada ketunggalan makna justru mengemuka. 

Ini contohnya. Apa yang mungkin ada di benak khalayak media online, saat sebuah produk jurnalisme konvensional disajikan dengan judul: ‘Baru Launching, Kereta Panoramic Stop Beroperasi. Apa Alasannya?’ (Trans7.co.id, 9 Januari 2023). 

Lewat judul yang diformulasi dalam kalimat seperti itu, mungkin yang terlintas di banyak pikiran pembaca adalah, ‘Baru diluncurkan dalam hitungan hari, kok sudah dihentikan operasinya. Rusakkah?’. Atau mungkin, ‘Baru saja beroperasi, kok sudah rusak?’. Mungkin hanya sedikit yang bakal berpikir, ‘Operasinya memang masih uji coba. Karenanya perlu evaluasi untuk menyempurnakan operasi lanjutannya’. 

Dan jika informasi tentang kereta itu dibaca secara lengkap dan seksama, memang pikiran terakhirlah yang jadi alasan penghentian sementara operasi kereta. Penghentiannya untuk memberi jeda pelaksanaan evaluasi. 

Dalam informasi yang lebih dalam, pengoperasiaan kereta penarik wisatawan selama beberapa hari itu, masih bersifat uji coba. Jangka waktunya kurang lebih 2 minggu. Periode itu digunakan untuk mengumpulkan data, yang berguna dalam merumuskan layanan selanjutnya. Konteks uji coba jadi samar bahkan hilang dari judul, sehingga khalayak tergiring pada ketunggalan makna. Meresponnya dengan pikiran negatif.

Itu pula yang mungkin terjadi lewat judul ‘Polisi Berencana Periksa Masinis Kereta yang Tabrak Kasat Narkoba Polres Jakarta Timur’ (Kompas.Tv, 30 April 2023). Kata ‘tabrak’ mendudukkan masinis sebagai pihak yang salah. Ini lazim pada kecelakaan yang melibatkan kendaraan lain. Namun ketika dalam kejadian, kendaraannya adalah kereta, maka komentar yang mungkin muncul, “Apa salah masisnisnya. Dia bawa kereta bukan kendaraan lain di jalan raya. Kenapa polisi memeriksanya?”. 

Dalam uraian yang rasional, tentu saja polisi dapat memeriksa masinis. Pemeriksaan bertujuan memperoleh deskripsi dari masinis, yang berpeluang menyaksikan korban sebelum tertabrak. Dalam keadaan apa Kasat Narkoba sebelum tertabrak? Apakah masinis sempat menyaksikan keberadan korban? Apakah korban dalam keadaan normal berjalan, atau dalam keadaan lainnya? Semua pertanyaan-pertanyaan itu layak diajukan. Bukan untuk menyalahkan masinis. Formulasi judul yang menggiring ketunggalan makna, membangkitkan curiga khalayak pada polisi.

Realitas samar atau terhapusnya konteks dari sebuah teks yang termediasi media digital, juga menjadi keprihatinan Alexis Grenell, 2022. Grenell adalah konsultan politik yang sering menulis tentang gender dan politik. Ia menuliskannya dalam artikel yang berjudul, ‘How Social Media Erases Context’. 

Uraiannya dimulai dari cerita tentang pengalaman adanya orang yang dihukum, dipecat atau mengalami cancel culture, untuk hal-hal yang dituliskannya di Twitter. Ilustrasi tragis hal yang disaksikan Grenell, dialami Erick Adame. 

Adame adalah seorang petugas cuaca populer di NY1. Laki-laki ini kehilangan pekerjaan, lantaran dilecehkan oleh penonton yang tak diketahui identitasnya. Caranya, gambar seseorang dan gambar Adame yang dicuri, diramu seakan sedang melakukan tindakan seksual. Seluruhnya dihadirkan pada situs web pribadi nonkomersial. Khalayak percaya dengan narasi buruk tentang Adame ini, lantaran terhapusnya konteks. 

Teks diarahkan pelaku pelecehan, seakan tindakan buruk benar-benar dilakukan Adame. Ketaknyamanan organisasi tempat Adame bekerja, akibat komentar khalayak, menyebabkannya dipecat.

Lebih lanjut Grenell menguraikan, terhapusnya konteks terjadi saat pengguna Twitter, memaknai followers sebagai pihak yang terus memperhatikan dirinya. Jika di dunia nyata khalayak memisahkan identitas dirinya, menjadi beberapa persona: persona di tempat kerja berbeda dengan persona di rumah tangga, persona sebagai kepala rumah tangga berbeda dengan persona sebagai eksekutif sebuah perusahaan. Identitas tak tunggal. Punya konteks-konteks yang berbeda, akibat ruang dan waktunya yang berbeda. 

Pada media digital, Twitter misalnya, pembagian kontekstual ini tak terjadi. Seluruhnya terindikasi lewat unggahan. Aktivitas memproduksi dan mendistribusi unggahan terjadi setiap saat, kepada siapapun tanpa pandang bulu. Yang terjadi kemudian, terhapusnya batas antara apa yang dikatakan, kapan, serta di mana seseorang menyampaikan unggahannya sebagai informasi. Seluruhnya untuk memenuhi media digital. 

Unggahan itu lantas dilihat oleh khalayak luas dan beragam. Distribusinya yang terus-menerus merepresentasikan dirinya. Hadir sebagi algoritma diri.  Ini selayaknya buku harian yang terbuka untuk masyarakat luas. Aktivitasnya yang terus-menerus, jadi kebalikan dari mengarahkan komunikasi secara kontekstual, kepada orang atau kelompok tertentu secara otentik.

Di sini nampak, matinya konteks oleh media digital merupakan akumulasi perilaku penggunanya. Pengguna individu maupun organisasi. Pada pengguna individu, unggahan yang tak kenal ruang dan waktu membentuk persona individu. 

Persona tunggal, pada apapun ruang maupun waktunya. Akan halnya unggahan oleh pengguna organisasi, ditujukan untuk menghadirkan persona organisasi yang menguntungkan organisasinya. Kesamaan di antara keduanya: kematian konteks terjadi lantaran perlombaan memenangkan perhatian khalayak. Konteks itu sajalah yang dipertahankan hidup.  

Karenanya, manakala Derrida menawarkan kekayaan makna teks lewat perbedaan konteks, dan dekonstruksi jadi perangkatnya, pada media digital yang terjadi sebaliknya. Kematian konteks mengantar teks pada makna tunggal dan abadi. 

Makna disederhanakan secara berlebihan, demi hadirnya perhatian. Yang justru terjadi, tak ada tambahan apapun bagi peradaban. Era media digital yang dicirikan miskinnya makna, didahului oleh matinya konteks. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait