Irelevansi Akibat Teknologi: Nyata atau Ilusi?
WALAUPUN dalam banyak kejadian kehadiran teknologi baru disambut dengan penuh harapan, tak jarang rasa was-was justru menghampiri.
Bisa dibayangkan, di tengah rutinitas berkebun, bersawah maupun berternak dengan mengandalkan tenaga alam: air, angin, otot manusia maupun hewan, tiba-tiba terdengar kabar, James Watt sedang mengotak-atik sebuah perangkat, yang konon dapat menggantikan unsur alamiah dalam kerja itu.
Jason Crawford, 2017 dalam ‘The Significance of the Steam Engine’ menggambarkan, selama ribuan tahun sejak api ditemukan, teknologi ini telah digunakan untuk membantu manusia mempertahankan hidupnya.
Walaupun tak dijelaskan dengan gamblang, namun dapat diimajinasikan, api digunakan sebagai sumber panas untuk mengolah makanan, menghangatkan tubuh atau menghalau binatang buas mendekati pemukiman manusia.
Api juga dimanfaatkan untuk membersihkan lahan yang bakal digunakan sebagai tempat tinggal maupun bertanam. Seluruh penggunaannya, ditujukan untuk memanen energi, sumber hidup manusia.
Memanfaatkan api dilakukan dengan membakar bahan bakar: kayu, daun kering, hingga batu bara. Namun setelah ribuan tahun mengenal api dan bahan bakarnya, memasuki tahun 1700an, relasi manusia dengan api berubah.
Api hasil pembakaran bahan bakar, dioperasikan pada mesin uap. Ini menghasilkan gerak. Panas berubah menjadi gerak, yang kemudian mampu menggantikan tenaga angin, air, bahkan otot manusia dan hewan.
Keunggulan mesin uap, mengubah bahan bakar jadi gerak, terletak pada pengoperasiannya yang leluasa. Bahan bakar dan mesin dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Mesin juga dapat dinyalakan dan dipadamkan menurut kebutuhan.
Demikian pula dalam hal keleluasaan pengaturan kuantitas gerakan yang dibutuhkan. Mesin uap menyelesaikan persoalan keterbatasan energi di alam. Yang ketika selesai, mesin uap jadi pintu masuk berlangsungnya revolusi industri.
Sedikit mengutip Encyclopedia Britannica, menyangkut James Watt dan mesin uap, dalam uraian, ‘Did James Watt Invent the Steam Engine?’, disebutkan: James Watt bukanlah penemu mesin uap. Tokoh ini berperan memperbaiki perangkat pada mesin. Ini dilakukannya saat mengamati cacat pada mesin Newcomen ~cikal bakal mesin uap~ di tahun 1764. Diketahui, limbah yang dihasilkan terlalu banyak dan konsumsi bahan bakarnya sangat besar.
Penyelidikan itu di tahun 1765 diikuti dengan dirakitnya kondensor terpisah. Ini berguna mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan. Temuan yang dipatenkan pada tahun 1769. Pada tahun itu pula James Watt bersama rekan kerjanya, Matthew Boulton, memasang dua mesin uap beserta kondensor yang terpisah, menjadi perangkat yang dikenal sebagai mesin uap saat ini.
Modifikasi yang dilakukannnya tak hanya mengurangi jumlah limbah, tapi juga memangkas biaya bahan bakar. Tahun inilah yang dicatat dalam sejarah, sebagai tahun ditemukannya mesin uap oleh James Watt.
Berdasar uraian Moataz Abdelmegid, 2014 dalam ‘Steam Power and the Industrial Revolution: 1760-1840’, hari-hari pasca disempurnakannnya mesin uap, jadi suasana yang menggairahkan. Mesin ini digunakan di berbagai bidang. Mulai tambang hingga pabrik. Dari hulu hingga ke hilir produksi. Produktivitas jadi kata kunci yang mengemuka, turut mendorong diciptakannya mesin-mesin berpenggerak uap dengan ukuran lebih kecil.
Perkembangan yang disusul munculnya mesin bertekanan tinggi oleh Richard Trevithick. Temuan yang kemudian diaplikasikan di bidang transportasi. Termasuk di dalamnya kapal, kereta api, kendaraan pertanian, hingga kendaraan jalan raya.
Kehadiran mesin uap membawa revolusi tak hanya di bidang pabrikasi, tetapi di banyak bidang lain. Karenanya tonggak penggunaan mesin uap, jadi awal masa Revolusi Industri, yang bergerak dari Inggris ke berbagai tempat lain, di dunia.
Namun tak seluruhnya menerima perubahan itu, tanpa disertai was-was. Evan Davis dan Jackson Collins, 2013, lewat ‘The Steam Locomotive’ menggambarkan realitas di Inggris, dalam kegandrungannya pada mesin uap. Ia menggambarkan London dengan aneka lapangan kerja baru.
Kesempatan yang mengundang orang dari area pinggiran, masuk London. Kota ini mengalami lonjakan jumlah penduduk yang pesat di waktu singkat. Jika London sebelumnya berpenduduk 1.117.000 orang, di tengah euforia mesin uap, penduduknya jadi 2.685.000 orang.
Dalam tinjauan aspek sosial, London, dan kota-kota kecil lainnya, mengalami perubahan relasi sosial masyarakat. Komunitas kecil yang erat saling mengenal satu sama lain, jadi saling asing. Seluruhnya terpisah akibat pekerjaan dan kerumunan orang.
Demikian pula dengan munculnya polusi besar. Sungai-sungai dipenuhi limbah dan udara berjelaga, kotor oleh buangan bahan bakar. Polusi terjadi di mana-mana, menghadirkan kondisi kerja buruk pembawa persoalan sosial. Tak hanya itu pekerja anak merajalela. Kelompok ini dipaksa bekerja berjam-jam, dengan sedikit waktu istirahat. Tak ada keleluasaan waktu untuk bersekolah.
Seluruh keadaan yang mengindikasikan produktivitas, secara paradoks menghasilkan rasa tak bahagia. Ini digambarkan Charlotte Brontë, 1849, dalam novelnya yang berjudul ‘Shirley, A Tale’, kurang lebih:
“Kesengsaraan menghasilkan kebencian: para penderita ini membenci mesin-mesin yang mereka yakini mengambil roti dari mereka: mereka membenci bangunan-bangunan yang berisi mesin-mesin itu; mereka membenci pabrikan yang memiliki gedung-gedung itu”.
Nampaknya, penggunaan teknologi mesin uap, bukan membebaskan manusia dari kerja, seraya menyisakan waktu untuk dinikmati. Mesin uap yang menghasilkan gerak, justru mengeksploitasi manusia, memposisikannya sebagai bagian dari mesin yang terus bekerja.
Baca Juga: Cari Cuan Instan
Keadaan kian buruk dengan dihasilkannya buangan-buangan yang mencemari ekosistem, juga perubahan pada sosiosistem. Manusia di hadapan mesin-mesin abad-18, tereksploitasi kemanusiaannya.
Akankah keadaan sama buruknya, ketika yang mewarnai peradaban manusia adalah teknologi berbasis artificial intelligence, AI? Yuval Noah Harari, 2018, dalam bukunya ‘21 Lessons for the 21st Century’, menyebut persoalan peradaban yang dipengaruhi oleh revolusi kembar: biotech dan infotech. Yang terjadi bukan eksploitasi seperti pada abad-abad sebelumnya. Persoalannya yang muncul adalah irelevansi manusia oleh keberadaan AI.
Jika AI memicu pemberontakan massa, warna pemberontakan di abad ini, berbeda. Tak lagi dalam tema perlawanan terhadap elit ekonomi yang mengeksploitasi manusia, lewat pembebanan kerja tiada batas. Tema perlawanan bergeser menuntut elit ekonomi yang tak lagi membutuhkan manusia. Melawan irelevansi lebih sulit dilakukan, jika dibanding pertarungan melawan eksploitasi.
Alasan di baliknya, lanjut Hariri: jika pada masa sebelumnya pembicaraan soal AI, big data maupun algoritma dianggap pembicaraan yang tak relevan, dan dianggap masih jauh terjadinya. Namun saat dikaitkan dengan pekerjaan, keberadaan ketiganya mengubah nasib manusia.
Revolusi teknologi berbasis AI bakal medorong miliaran manusia keluar dari pasar kerja. Ini lantaran kebanyakan manusia, digantikan AI yang mampu bekerja lebih cepat dan jauh lebih murah.
Baca Juga: Zaman Media Sosial, Zaman Matinya Realitas
Seluruhnya menyisakan timbunan orang yang irelevan dan frustrasi. Dapat memicu munculnya pergolakan sosial yang tak mudah ditangani. Aspek-aspek teknologi yang diabaikan sebelumnya, relevan dibicarakan justru ketika manusia terancam jadi irelevan. Berubah jadi pengangguran massal.
Pesismisme Harari soal masa depan pekerjaan manusia, relevan dengan laporan World Economic Forum, yang berjudul ‘The Future of Jobs Report 2020’. Lembaga ini menyebut, setidaknya 85 juta jenis pekerjaan, akan hilang dalam 5 tahun ke depan. Seluruhnya tergantikan oleh AI.
Jika seandainya diajukan pertanyaan kepada mahasiswa tentang jenis-jenis pekerjaan yang bakal dijalani setelah kuliahnya selesai, paling banyak dapat disebutkan 100 jenis pekerjaan. Jumlah yang disebutkan bisa meningkat, jika para mahasiswa diberi waktu lebih panjang untuk menyebutkan. Maka pada tahun 2025, sangat mungkin seluruh jenis pekerjaan itu berada di antara 85 juta jenis pekerjaaan yang bakal hilang.
Artinya, begitu mahasiswa lulus, tak relevan pula pengetahuan dan keterampilan yang telah ditempuh, untuk mengisi pasar kerja. Seluruhnya telah diambilalih AI. Jadi bagaimana harus memandang pekembangan teknologi?
Baca Juga: Terjebak dalam Pengawasan Media Sosial
Pertanyaannya, linierkah skenario Harari maupun berbagai lembaga lainnya, memproyeksikan nasib manusia, irelevan oleh keberadaan AI? Bukankah dalam setiap revolusi industri, dari revolusi indusrtri 1.0 yang dipicu oleh penggunaan mesin uap hingga revolusi industry 4.0 yang digerakkan oleh teknologi informasi, manusia selalu dibayang-bayangi irelevansi? N
amun yang ditunjukkan oleh revolusi mesin uap, justru manusia yang kian terbebani oleh pekerjaannya? Irelevansi ini ancaman nyata, atau rasa tak nyaman saja, ketika berhadapan dengan kepastian yang masih samar-samar hadir?
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia