URguide

Toxic Positivity di Masa Pandemi, Bagaimana Menyikapinya?

Itha Prabandhani, Senin, 2 Agustus 2021 13.24 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Toxic Positivity di Masa Pandemi, Bagaimana Menyikapinya?
Image: Toxic Positivity (Pixabay/Dana-Tentis)

Jakarta - Banyak orang bakalan setuju kalau waktu 1,5 tahun belakangan ini menjadi masa yang sulit buat dijalani. Sejak pandemi berlangsung bulan Maret tahun lalu, begitu banyak hal yang berubah dalam hidup kita. Mulai dari hal-hal sepele seperti agenda harian kita, hingga cara hidup dan bekerja pun mesti diubah dalam waktu singkat.

Tentunya perubahan besar seperti ini nggak mudah kan, guys? Apalagi, nggak sedikit dari kita yang jatuh sakit atau mengalami tekanan mental akibat kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, maupun stres karena perubahan gaya hidup.

Selama ini, kamu sering nggak sih mendengar orang lain bilang, “Biar gimana pun, kamu mesti tetap bersyukur,” atau “Yuk, stay positif, ya?” atau “Masih banyak loh, orang di luar sana yang lebih menderita dibanding kamu,” atau “Masih mending cuma potong gaji, banyak loh yang nggak punya kerjaan lagi.”

Kalimat-kalimat seperti ini memang niatnya baik, yaitu memberi semangat di saat sulit. Pesannya cuma satu, yaitu bahwa kamu tidak seharusnya mengeluh atau bersedih atas kondisimu saat ini.

Namun, kalimat-kalimat seperti itu sebenarnya baik nggak sih buat kesehatan mental?

Sikap maupun kata-kata penyemangat yang seperti itu, memang adalah bentuk dukungan. Namun, di saat seperti ini, menanamkan sikap positif pada orang lain juga bisa berbahaya, kalau kamu nggak benar-benar memahami kondisi mental orang lain, guys.

Dengan kata lain, orang yang mengeluh, sedih, atau merana itu, bisa saja memang sedang dalam keadaan mental yang nggak baik. Alhasil, bukannya mendukung, sikap dan kata-kata tersebut justru menjadi toxic positivity.

Lalu, apa sih toxic positivity itu?

1627885016-toxic--pixabay-chuotanhls.jpgSumber: Toxic Positivity (Pixabay/chuotanhls)

Menurut Psikolog asal Amerika, Dr Jaime Zuckerman, seperti dilansir dari Healthline, toxic positivity diartikan sebagai asumsi, baik dari diri sendiri maupun orang lain, bahwa seseorang mesti punya mindset positif, terlepas dari kondisi emosional ataupun situasi sulit yang tengah dihadapinya.

Singkatnya, seburuk apapun kondisimu, kamu harus tetap berpikiran positif. Nah, toxic positivity ini bisa muncul melalui kalimat seperti “Semua bakal ada hikmahnya, kok,” atau “Kamu harus tetap bersyukur,” atau “Masih untung gejalanya cuma ringan.”

Menurut Dr Zuckerman, mengatakan hal-hal semacam itu sama saja dengan memaksakan pikiran positif dan kebahagiaan, serta mengesampingkan perasaan kamu yang sebenarnya, seperti sedih, kesepian, merana, takut, atau cemas.

Toxic positivity akan memberikan tekanan buat orang lain untuk selalu tampil happy. Padahal, kalau kamu memang merasa diri sedang nggak sedang baik-baik aja, kamu boleh kok merasa seperti itu.

Senada dengan Dr Zuckerman, seorang psikiater asal Amerika, Carolyn Karoll mengatakan, toxic positivity dapat memberikan kesan bahwa kalau seseorang merasa sedih, cemas, takut, atau stres, berarti dia lemah atau nggak mampu.

Sikap ini bisa membuat orang jadi menyingkirkan perasaan yang sebenarnya, malu, hingga merasa tidak disayangi. Padahal, perasaan-perasaan seperti ini sangat manusiawi dan baik buat kesehatan mental.

Toxic positivity dapat membuat orang mengabaikan masalah yang ada dalam dirinya atau menyembunyikan kondisi emosional yang sebenarnya. Hal ini dapat berujung pada gangguan kecemasan dan depresi, yang malah akan memperburuk kesehatan mental kamu.

Kenyataannya, kondisi pandemi ini telah membuat banyak orang berada dalam kondisi terburuknya. Jatuh sakit, meninggal dunia, kehilangan pekerjaan, terisolasi, merawat anggota keluarga yang sakit, kehilangan orang tercinta, dan terus dihadapkan pada ketidakpastian masa depan.

Sangat wajar kalau situasi seperti ini bikin kamu sulit untuk merasa optimistis dan positif. It’s OK not to be OK right now. It’s normal, guys. Kenyataannya, orang nggak bisa memilih perasaan yang bakal muncul, kok. Apa yang kamu rasakan bakal sesuai dengan situasi yang sedang kamu alami. Faktanya, kita memang sedang berada dalam situasi krisis. Dan, kamu nggak sendiri, guys.

Terus, gimana caranya menghadapi toxic positivity ini?

1614144420-pexels-photo-3812745.jpeg-toxic-people-pixabay-by-Andrea-Piacquadio.jpegSumber: Ilustrasi toxic people. (pixabay/ Andrea Piacquadio)

Pertama, jangan abaikan perasaanmu. Biarkan kamu merasa apa saja yang sedang kamu rasakan, baik itu sedih, takut, cemas, lega, marah, ataupun senang.

Nggak cuma pada diri sendiri, kamu juga mesti menerapkan hal yang sama pada orang lain. Biarkan orang lain merasakan apa yang sedang dialaminya, tanpa kamu nge-judge atau mengabaikan perasaannya.

Kedua, jika memungkinkan, carilah nasihat, saran, atau dukungan dari orang yang kamu percaya. Katakan kepada mereka terus terang jika kamu hanya butuh didengarkan atau butuh teman curhat.

Ketiga, ingatlah bahwa it’s OK not to be OK. Kalau kamu merasa lelah dan tertekan, izinkan dirimu untuk menjadi ‘nggak sempurna’, cuek, atau ‘egois’. Nggak ada salahnya untuk sekali-kali mementingkan kebahagiaanmu sendiri.

Yang terakhir, terimalah kenyataan. Bersikap realistis pada situasi yang ada, akan membuat kamu merasa lebih baik. Contohnya, jangan lakukan pekerjaan yang menuntut kamu untuk mempelajarinya dengan keras. Sebaliknya, lakukan hal-hal yang mampu kamu kerjakan dan udah biasa kamu jalani sehari-hari.

Selama kamu belum merasa lebih baik dan lebih kuat, abaikan toxic positivity yang kamu dengar dari orang lain, termasuk dari para influencer di media sosial. Biar bagaimana pun, kamu sendiri yang tahu apakah kamu sedang baik-baik saja, atau tidak. Jika perlu, berkonsultasilah pada ahli, kalau kamu nggak berhasil mengatasi emosi negatifmu.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait