URnews

Dunia yang Makin Sulit Dipercaya

Firman Kurniawan S, Selasa, 10 Januari 2023 16.45 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dunia yang Makin Sulit Dipercaya
Image: Ilustrasi globe peta dunia. (PIXABAY/Brida_straight)

HIDUP dalam bayang-bayang ketakutan, tak lebih baik dari hilangnya keyakinan dalam mencapai tujuan. Keduanya sama-sama mengantar pengidapnya, menjalani keseharian tanpa gairah. Selalu gamang, tanpa kepastian.

Bayang-bayang ketakpastian banyak menjangkiti khalayak. Ini terjadi di akhir tahun, menjelang pergantian ke tahun 2023. Tak hanya dipicu oleh ancaman resesi ekonomi. Rasa enggan beralih ke tahun yang baru, juga disumbang oleh kekhawatiran terhadap situasi politik. Ini tentu relevan dengan akan dilaksanakannya Pemilu Raya di tahun 2024.

Namun di antara 2 hal besar itu, yang secara struktural menyumbang ketakpastian akut, adalah cara media saat menyajikan informasinya. Bukan hanya media konvensional yang saat ini hampir seluruhnya telah malih jadi media online. Juga oleh media sosial, yang produksi dan distribusi informasinya sering jadi acuan penilaian khalayak. Kedua wujud media itu nyaris tak terpisah, membantuk opini khalayak.

Dipicu Perang Rusia-Ukraina, ancaman ketakpastian ekonomi makin menggejala. Dampaknya dirasa kian menekan hari ini. Perang yang dimulai 24 Februari 2022, tak hanya turut membunuh rakyat sipil di kedua negara. Jalur pasokan energi dan pangan turut terganggu. Stabilitas pasokan energi dan pangan global, jadi korbannya.

Keadaan ini berlanjut jadi krisis energi dan pangan yang luas. Tak jelas sampai kapan dan apa, yang dapat mengakhiri perang. Yang pasti, dampak lanjutannya telah memicu stagflasi ke berbagai negara. Di tahun 2023, dunia diramal terkoyak-koyak oleh resesi. Ini harus dihadapi dengan hati-hati. Atau menerima kedahsyatan akibatnya, jika salah langkah.

Tak kalah gelapnya, ketakpastian juga dipicu oleh keadaan politik Indonesia. Menjelang tahun 2024, yang lazim disebut sebagai tahun politik, ketegangan meningkat. Tahun 2023 adalah satu tahun menjelang perhelatan besar, Pemilu Raya. Hiruk pikuk menjelang pemilihan presiden serta wakilnya, juga pemilihan anggota legislatif dan DPD, mengubah pola komunikasi khalayak, bercorak kompetitif. Padahal tak seluruhnya, tertarik pada politik.

Bukan hanya bidang politik yang mengalami gonjang-ganjing. Bidang ekonomi, sosial, budaya turut terpengaruh keadaan tak stabil ini. Khalayak menanti dengan cemas, mulai penetapan kandidat yang diajukan sebagai Capres-Cawapres, penetapan para Calon Anggota Legislatif dan DPD, proses kampanye dengan pengerahan massa, proses dilangsungkannya pemilihan berikut penghitungan hasilnya yang tak jarang ditingkahi sikap curiga, hingga proses penyelesaian sengketa hasil Pemilu Raya. Seluruhnya menguras energi dan perhatian. Contoh kecil ketegangannya, di penghujung 2022 suasana sempat jadi tak nyaman. Ini saat ada parpol yang diumumkan tak lolos jadi peserta pemilu. Untungnya semua berakhir damai.

Cara media, baik konvensional maupun sosial, turut membawa ketakpastian tergambar jelas saat perangkat peradaban ini menyajikan berbagai peristiwa. Ini nyata menimbulkan kehebohan di tahun yang hendak ditinggalkan, hingga awal 2023.

Salah satunya, adanya informasi yang memperkirakan bakal terjadinya badai besar yang menerjang Jabodetabek-Banten dan sekitarnya.

Informasi ini bersumber unggahan Twitter peneliti BRIN. Isinya kuat mengandung kekhawatiran bagi keselamatan khalayak, karena didasarkan data hasil riset. Dengan pemilik akun yang punya kredibilitas, seluruhnya nyata menyita perhatian khalayak.

Unggahan yang segera digaungkan berbagai media ini ~media sosial milik individu maupun media sosial yang berafiliasi pada media konvensional~, justru jadi pangkal ketakpastian. Sehari setelah unggahan ramai bergaung, BMKG yang punya tugas pokok dan fungsi menyiarkan informasi soal cuaca, justru berkata lain. Lembaga ini dengan bahasanya yang santun, menepis adanya badai besar yang hendak menimpa kawasan ibukota. Badai berpeluang kecil, namun tetap meminta khalayak tetap berhati-hati.

Ketakpastian harusnya tak perlu terjadi, jika media, ~individu maupun organisasi pengelola di baliknya~ taat merujuk sumber. Ada lembaga yang punya kewenangan, untuk tiap informasi yang disiarkannya. Ini yang harusnya jadi sumber rujukan. Media nampaknya lebih tertarik pada magnitude isi informasinya, dibanding kewenangan lembaga yang menyiarkannya.

Yang kedua, terjadi di awal tahun 2023. Terlepas dari perdebatan aspek hukum dan tata negara yang menyertai, persilangan pendapat tak substansial terjadi saat Presiden mengumumkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja. Beredar perbincangan yang berbeda dengan maksud isi teks Perppu.

Yang ramai diperbincangkan, soal jumlah hari libur dalam satu minggu. Dicantumkan pada pasal 79, isitrahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Sedangkan pada bagian sebelumnya, pasal 77 disebutkan soal jam kerja, 8 jam dalam 1 hari, dan 40 jam dalam satu minggu, untuk 5 hari kerja.

Ini bisa diartikan jumlah hari libur dalam seminggu, sedikitnya satu hari. Yang beredar sebagai unggahan, Perppu seolah memotong jumlah libur, hanya tinggal sehari dalam seminggu. Ini mengundang polemik. Bukan kepastian yang melegakan.

Jika seluruh cara penyajian media di atas terjadi 10 atau 20 tahun silam, tentu lain keadaannya. Hari ini dominasi pengaruh media yang terdorong oleh perkembangan teknologi, membawa perubahan besar. Perubahan yang tak sebatas pada munculnya bentuk-bentuk relasi antara khalayak dengan media. Namun juga berpengaruh luas pada perubahan tata cara berkehidupan lainnya.

Menggambarkan keadaan ini, Kho Suet Niea, Chang Peng Keea, dan Abdul Latiff Ahmad dalam artikel jurnalnya memunculkan konsep kontemporer media. Kini sering disebut mediatisasi. Artikel ketiga peneliti itu berjudul, ‘Mediatization: A Grand Concept or Contemporary Approach?’.

Dalam penjelasannya yang mengutip pendapat Nick Couldry dan Andreas Hepp, 2013, mediatisasi adalah proses terpengaruhnya berbagai bidang kehidupan khalayak: politik, bisnis, budaya, hiburan, olahraga agama maupun pendidikan secara luas oleh dominasi media.

Implikasi dari mediatisasi, para pelaku politik, pelaku bisnis, organisasi yang berkepentingan pada perubahan sosial, harus menyesuaikan bentuk dan pilihan komunikasinya dengan media. Termasuk di dalamnya: cara kerja media, cara media menyajikan informasi, cara media membangun perhatian khalayak, cara media membentuk opini, bahkan cara media dalam menentukan topik yang disajikan. Ini sering disebut sebagai logika media.

Para politisi, pada masa sebelumnya turun langsung menemui konstituennya. Berbincang menunjukkan perhatiannya. Di zaman mediatisasi, para politisi membangun unggahan media sosial yang mengundang perbincangan dengan khalayak. Ridwan Kamil contohnya.

Demikian pula dengan pemasar. Tak cukup entitas ini mendistribusikan iklan membangun pemahaman. Pemasar harus melibatkan endoser untuk berbicara dengan khalayak, dengan cara yang disukai khalayak. Pemasaran berbagai produk skin care, misalnya.

Mediatization, tak mudah ditemukan dalam kosa kata Bahasa Inggris. Ini karena mediatization dikembangan dari bahasa Jerman, “Mediatisierung”. Sebuah kata untuk mengilustrasikan sangat dominannya media dalam sistem dan institusi di tengah khalayak. Pengertian ini senada dengan pernyataan Couldry dan Hepp di atas.

Akan halnya teknologi, munculnya mediatisasi tak lepas dari perkembangan teknologi informasi yang intensif. Ini dikemukakan Kent Asp, 2014, lewat artikelnya yang berjudul ‘Mediatization: Rethinking the Question of Media Power’.

Ia menyebut, mediatisasi dibentuk dalam rangkaian perkembangan estafet teknologi. Mulai koran, radio, televisi, internet hingga media sosial yang bersifat interaktif. Seluruhnya punya kekuatan membawa perubahan. Berupa pengaruh penting yang terbawa oleh karakter independen media. Independensi yang mengikis pengaruh media yang diselenggarakan negara, organisasi pemasar yang melayani khalayak, maupun media yang berafiliasi pada partai politik. Nampaknya karakteter independen itu, lebih melekat pada media sosial yang dimiliki khalayak.

Kata mediatization akhirnya dipilih untuk menggambarkan betapa kehidupan khalayak tak lepas dari pengaruh media. Ini dimuat pada pidato Sonia Livingstone, 2009. Pidatonya berjudul "On the Mediation of Everything: ICA Presidential Address 2008". Sejak itu, kata mediatisasi jadi popular untuk merepresentasikan peran media kontemporer.

Besarnya pengaruh media pada khalayak, tak seluruhnya disadari media. Jika hari ini akhirnya dunia berkembang jadi sulit dipercaya, tak lain akibat ketakpastian yang disumbang media. Sekali lagi, media kontemporer maupun media sosial yang jadi realitas zaman ini.

Cara penyajian media yang lebih tertarik pada sisi kontroversi, sensasi dan narasi miring, justru sering kali melepaskan informasi dari substansinya. Ketika khalayak butuh informasi untuk membangun kepastian, justru media tak meletakkan informasi jadi material yang meminimalkan ketakpastian. Khalayak diantarkan jadi gamang.

Akhirnya muncul pertanyaan yang mestinya jadi beban khalayak: jika kegamangan ini meluas, dunia mana lagi yang bisa dipercaya? Namun ketika semua khalayak, hakikatnya adalah media, maka khalayak sendirilah penyumbang ketakpastian itu. Tak hendak memperbaikinya?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait